Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keberpihakan Jokowi di Pilpres Dinilai Bisa Picu Kemunduran Demokrasi

Kompas.com - 09/01/2024, 18:23 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pertemuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto dan sejumlah petinggi partai politik pengusungnya sebelum debat ketiga Pilpres 2024 dinilai bisa menodai praktik demokrasi dan politik.

Foto pertemuan antara Jokowi dan Prabowo di sebuah rumah makan di Jakarta menjelang debat Pilpres pada pekan lalu menarik perhatian kalangan politik.

Setelah itu, Jokowi bertemu dengan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan. Kedua partai itu anggota Koalisi Indonesia Maju yang mengusung Prabowo.

Menurut pengamat politik Jannus TH Siahaan, pertemuan Jokowi dengan Prabowo, Airlangga, dan Zulkifli justru menjadi ambigu secara politik, karena semuanya adalah anggota kabinet di pemerintahan Jokowi.

Baca juga: Timnas Amin Sarankan Jokowi Tonton Langsung Debat Capres-Cawapres

"Inilah risikonya jika kandidat tidak non aktif di saat kampanye, situasinya jadi ambigu," kata Jannus saat dihubungi pada Senin (8/1/2024).

Jannus menilai, pertemuan itu bukan pertanda awal keberpihakan Jokowi kepada kubu tertentu yang bersaing dalam Pilpres 2024.

Sedangkan pada sisi lain, Jokowi tidak bisa hadir dalam peringatan HUT Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang akan digelar pada Rabu (10/1/2024) besok.

Alasannya ketidakhadiran itu adalah Jokowi melakukan kunjungan kenegaraan ke Brunei Darussalam, Filipina, dan Vietnam.

"Dengan bertemu ketiga orang tersebut, tapi absen dalam acara PDIP saja sudah menunjukkan preferensi politik Jokowi," ucap Jannus.

Baca juga: Keberpihakan Jokowi ke Prabowo Dinilai Makin Jelas Usai Komentari Debat Capres


"Jadi keberpihakan sudah lama ditunjukkan oleh Jokowi ke salah satu paslon, termasuk saat beliau mengizinkan anaknya untuk ikut berkontestasi," sambung Jannus.

Akhirnya, kata Jannus, jika situasi itu yang terjadi maka demokrasi di Indonesia seolah mundur dan sekadar menuntaskan kewajiban.

Semestinya Presiden Jokowi sebagai pemimpin mengayomi seluruh kelompok yang bersaing dalam Pemilu dan Pilpres 2024, dan tidak terseret arus persaingan politik.

"Dengan demikian, Jokowi akan meninggalkan preseden buruk bagi dunia perpolitikan kita, yang berpeluang diulang oleh calon pemimpin selanjutnya," ucap Jannus.

Baca juga: Jawab Anies soal Debat, Jokowi: Saya Bicara untuk Introspeksi Semua

Sikap politik Jokowi dianggap bisa membuat kemunduran dalam proses demokrasi yang dibangun di Indonesia setelah Reformasi 1998.

Padahal, Indonesia sedang meniti jalan buat mencapai kematangan demokrasi yang diprediksi terjadi pada 2039 mendatang.

Sikap Presiden Jokowi, kata Jannus, justru dianggap tidak memberikan teladan dalam proses demokrasi dengan panduan moral dan etika.

Baca juga: Tanggapi Kritik Anies, Jokowi: Saya Tidak Bicara untuk Satu Paslon

"Ujungnya, demokrasi kita akan kembali menjadi demokrasi prosedural untuk memenuhi amanat undang-undang, tapi tidak mengubah struktur kekuasaan yang ada dan tidak terjadi rotasi kekuasaan secara substantif, karena kekuasaan akan berputar-putar dalam lingkaran yang itu-itu saja," lanjut Jannus.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com