POLEMIK format baru dalam debat capres-cawapres dan sejumlah preseden buruk lainnya dapat memicu kerentanan Pemilu 2024.
Antara lain dan menjadi titik tekan saya adalah, kerentanan itu dapat dipicu oleh akumulasi hilangnya rasa keadilan di masyarakat akibat independensi penyelenggara negara, terutama penyelenggara pemilu yang dipertanyakan, atau diragukan.
Bagaimanapun, kita telah melalui serangkaian tahapan yang mengandung kerentanan terhadap konflik, dampak dari sejumlah kecacatan proses, bila tak mau disebut sebagai malpraktik, buah dari netralitas semu.
Kenyataan ini telah dimulai atau diawali oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang melahirkan keputusan, bukan saja kontroversi, tapi menjadi noktah hitam yang sulit dirasionalisasi dan menjadi beban sejarah.
Publik menjadi terbelah, selain soal substansi dari putusan MK tersebut, juga karena polarisasi atau irisan afiliasi politik dukung-mendukung kandidat capres-cawapres, buah dari putusan MK.
Sementara cacat bawaan terus menghantui dengan dasar logika memadai, karena satu keputusan yang secara etik salah atau melanggar, tapi produknya tetap digunakan, hanya karena alasan teknis pentahapan pemilu yang sudah berjalan.
Ibarat makanan yang dibiarkan untuk ditelan, meski disadari ada kandungan racun, alasannya sudah kadung di mulut dan dikunyah. Berbahaya atau tidak nantinya pada tubuh, biarlah urusan di pencernaan.
Berharap racunnya tak sampai membunuh atau merenggut nyawa. Apa yang akan terjadi biarkan waktu yang akan menjawab. Sehingga sesuatu yang substansi terpaksa harus mengalah pada prosedur.
Skandal MK yang menjadi racun, residunya bahkan masih tersisa hingga kini. Misalnya, bekas Ketua MK Anwar Usman yang paling dipersalahkan, justru belum juga legowo.
Baca juga: Anwar Usman Dulu Bilang Jabatan Milik Allah, Kini Nyatakan Keberatan dan Gugat Ketua MK
Setelah diberhentikan karena pelanggaran berat kode etik atas uji materi perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia capres-cawapres, Anwar Usman masih mengajukan surat keberatan kepada MK dan juga menggugat Suhartoyo, Ketua MK yang baru, ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Membuktikan bahwa drama di MK belum benar-benar reda atau usai, bahkan masuk pada babak baru yang bakal terus menggelinding, mengiringi pemilu.
Persoalan pun berkembang. Sejumlah pihak diketahui telah menggugat KPU karena dianggap melanggar Peraturan KPU (PKPU). KPU dalam menerima pendaftaran pasangan capres-cawapres harusnya tetap berpegang PKPU yang berlaku.
Sehingga yang menjadi dasar proses pendaftaran pasangan capres-cawapres adalah PKPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pendaftaran Capres-Cawapres.
Dalam aturan tersebut tertulis jelas, syarat pencalonan capres-cawapres minimal 40 tahun. KPU dalam hal ini mengetahui usia salah satu bakal calon wakil presiden belum mencukupi 40 tahun.
Itu artinya penerimaan pendaftaran salah satu bakal cawpres saat itu ada pada ‘rezim’ PKPU Nomor 19/2023 yang mengatur tahapan-tahapan pencalonan, meliputi pendaftaran, verifikasi, dan penetapan.