Sehingga pada masa kampanye, semua produksi pesan dari para kandidat harus dipersiapkan dengan baik, disesuaikan dengan konsumen pesan (audience) dan pilihan media distribusi pesan (langsung atau daring).
Inilah hal yang perlu diperhatikan oleh kandidat, politisi dan tim pemenangnya, dengan begitu pilihan diksi atau konten berikut dampak komunikasi, sudah bisa diperhitungkan atau dikalkulasi sejak awal.
Kedua, mitigasi kesalahan komunikasi. Hal ini juga sangat penting, apalagi pada kasus Gibran, mitigasi perlu dilakukan untuk menghindari ter-konfirmasinya tudingan sebagai kandidat ‘karbitan’.
Berbeda dengan para kandidat capres maupun cawapres lainnya, keikutsertaan Gibran dalam Pilpres 2024 mengandung anggapan terlalu ‘dipaksakan’, mengingat pengalamannya masih terbilang minim. Modal kurang dari tiga tahun sebagai wali kota.
Sehingga bila kemudian hari ada pasangan kandidat yang sering salah dalam ber-statement atau menyampaikan pendapat, akan berdampak pada kepercayaan dan penerimaan publik terhadap mereka.
Sebab, dalam konteks yang lebih jauh, menghindari kesalahan dalam komunikasi politik capres-cawapres penting karena tindakan atau perkataan mereka berdampak besar pada citra dan persepsi publik.
Kesalahan komunikasi bisa merugikan capres dan cawapres, apalagi yang memicu lahirnya kontroversi, sehingga memperburuk persepsi, atau memicu ketidakpercayaan di tengah pemilih.
Dalam konteks politik, reputasi dan kesan yang dibentuk oleh komunikasi politik sangat memengaruhi elektabilitas seorang atau satu pasangan calon.
Soal ini, lagi-lagi lewat sejumlah pelaksanaan pilpres di Amerika Serikat dapat memberikan contoh bagaimana dampak komunikasi terhadap keterpilihan presiden dan wakil presiden.
Seperti pada 1984, ketika calon presiden Walter Mondale mengalami penurunan elektabilitas setelah secara terbuka mengatakan, jika terpilih, ia akan meningkatkan penerimaan pajak dari sektor private.
Pernyataan Walter itu kemudian menjadi sasaran kritik dari lawan, Ronald Reagan, yang menganggap rencana itu dapat merugikan pemilih. Dampaknya, Mondale kalah telak dengan selisih yang besar.
Atau pada 1988, Michael Dukakis kalah dalam Pilpres AS, karena komunikasinya dianggap kontroversial ketika ia tidak dengan tegas menanggapi pertanyaan terkait hukuman mati saat debat pilpres.
Menjadi contoh bahwa kesalahan komunikasi politik atau pernyataan kontroversial dapat memiliki dampak signifikan pada dukungan elektoral.
Beruntung dalam kasus Gibran, masih dinilai sebatas kesalahan menggunakan istilah, bukan pada satu kebijakan kontroversial, pun bukan dalam debat resmi, meski sebetulnya itu tetap saja menunjukan paham tidaknya terhadap konteks yang dijabarkan.
Ketiga, mereduksi kadar kekhawatiran publik. Sekalipun khalayak pemilih sebagian sudah terpolarisasi dalam dukung-mendukung kandidat, dan berharap yang didukungnya menang, namun bila semua kontestan ada dalam kapasitas yang seimbang, kekhawatiran publik tak akan begitu tinggi.