TAHUN 2024 menjadi tahun ujian bagi sistem pemerintahan demokrasi di dunia. Pasalnya, tiga negara besar penganut sistem pemerintahan demokrasi akan menyelenggarakan pemilihan umum.
Ketiga negara tersebut adalah Amerika Serikat, India, dan Indonesia. Amerika Serikat adalah negara kampiun demokrasi dunia yang acapkali dijadikan rujukan dan kiblat bagi negara-negara demokrasi lainnya.
Sejak negara ini lahir dua ratusan tahun lalu, sistem pemerintahan demokrasi telah berlangsung secara berkala dan konsisten.
Pemilihan berlangsung secara teratur, apapun keadaannya yang sedang dihadapi di negara tersebut. Dalam keadaan perang, krisis, kekacauan internal, dan sejenisnya, tidak menghalangi berlangsungnya pemilihan umum di negara Paman Sam.
Mengapa? Karena menurut standar Amerika, konsistensi dalam menjalankan demokrasi yang penampakannya bisa dilihat dari keberlangsungan proses elektoral secara berkala adalah tanda konsolidasi dan kemapanan demokrasi, selain faktor penegakan dan kepastian hukum dan kebebasan pers.
Seperti kata Mark D. Brewer dan L. Sandy Maisel dalam buku wajib para mahasiswa pascasarjana ilmu politik Amerika, "Parties and Elections in America: The Electoral Process," konsistensi berdemokrasi adalah salah satu ciri politik Amerika.
Mau hujan, badai, atau banjir, mau krisis, normal, stagnasi, resesi, perang, damai, dan apapun keadaannya, pemilihan tetap dijalankan pada waktu yang telah ditentukan. Tak boleh ditawar-tawar, ditunda, apalagi sampai memperpanjang masa jabatan presidennya.
Namun pada 2016, demokrasi Amerika Serikat mendapat ujian luar biasa. Keterpilihan Donald John Trump sebagai presiden ke - 45, bukan hanya mengagetkan seantero Amerika Serikat, tapi juga dunia.
Isu imigrasi (intoleransi) yang dimotori oleh spirit White Supremacy, antiglobalisasi, antiinstitusi demokrasi, dan sejenisnya, yang diusung oleh Donald J. Trump menurunkan derajat dan status negara kampiun demokrasi yang disandang Amerika Serikat selama ini.
Gerakan 6 Januari 2020 adalah puncak nyata dari spirit antidemokrasi Donald Trump, di mana beliau mendukung beberapa kelompok pemilihnya untuk mengepung dan menyerang Capitol Hill (kantor Kongres Amerika Serikat) sebagai bentuk penolakan atas hasil pemilihan umum tahun 2020 yang mengesahkan kemenangan Joe Biden, Presiden ke - 46 Amerika Serikat.
Dan kini, setelah dihadang berbagai kasus hukum, Donald Trump masih sangat berpeluang untuk maju kembali sebagai penantang utama Joe Biden yang kini berusia 81 tahun di pemilihan presiden 2024 nanti.
Apalagi setelah perang berkecamuk antara Palestina dan Israel, peluang Donald Trump semakin terbuka lebar.
Bukan karena elektabilitasnya meningkat, tapi justru karena tingkat aproval dan elektabilitas Joe Biden yang melorot akibat dukungannya kepada Israel dalam aksi militer membombardir kelompok Hamas di Gaza.
Dengan kata lain, Joe Biden berpeluang kalah karena banyak pemilih di Amerika Serikat justru memilih tidak ikut pemilihan umum.
Dan jika Donald Trump bisa kembali ke Gedung Putih, maka demokrasi Amerika Serikat akan semakin terpuruk di satu sisi, yang akan membawa tatanan ekonomi politik dunia lapuk bersamanya di sisi lain.