JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri menyebut huru-hara di Mahkamah Konstitusi (MK) mengungkap rekayasa hukum konstitusi dan mengindikasikan kecurangan dalam pemilihan umum (Pemilu) 2024.
Putusan MK terkait perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 menjadi momok karena dinilai sarat dengan nepotisme dan menjadi karpet merah bagi putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, menjadi bakal calon wakil presiden (cawapres).
Menurut Megawati, rekayasa hukum itu terungkap dalam pemeriksaan Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang menyatakan sejumlah pelanggaran para hakim konstitusi.
“Keputusan MKMK tersebut menjadi bukti bahwa kekuatan moral, politik kebenaran, dan politik akal sehat tetap berdiri kokoh meski menghadapi rekayasa hukum konstitusi,” ujar Megawati dalam pidatonya yang ditayangkan di kanal YouTube PDI-P, Minggu (12/11/2023).
Baca juga: Megawati Sebut Ada Manipulasi Hukum Jelang Pemilu, Minta Publik Jangan Takut Bersuara
Megawati lantas mengaku sangat prihatin dan menyesalkan kenapa pelanggaran etik di MK itu bisa terjadi.
Padahal, menurutnya, MK merupakan lembaga negara di ranah yudikatif yang sangat terhormat. Di sisi lain, konstitusi merupakan pranata kehidupan berbangsa dan bernegara.
Konstitusi juga merepresentasikan kemauan, tekad, dan cita-cita pendiri bangsa.
“Dari namanya saja, Mahkamah Konstitusi ini seharusnya sangat sangat berwibawa,” ujarnya.
Megawati kemudian menceritakan bagaimana situasi pembentukan MK tidak bisa dilepaskan dari suasana kebatinan rakyat Indonesia yang mengalami hidup di bawah tekanan rezim Orde Baru.
Baca juga: Tanggapi Putusan MK, Megawati: Rekayasa Hukum Tidak Boleh Terjadi Lagi
Ia mengatakan, masyarakat hidup dalam ancaman, tekanan, dan menghadapi fenomena nepotisme, kolusi, serta korupsi di bawah pemerintahan Presiden Soeharto.
Rezim otoriter itu kemudian ditumbangkan dengan berdarah-darah dan banyak nyawa menjadi korban.
Megawati menyebut, berbagai tragedi yang merenggut nyawa itu seperti Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (Kudatuli), Trisakti, Semanggi dan lainnya.
“Peristiwa penculikan para aktivis, bagian dari rakyat,” kata Megawati.
Dalam suasana batin masyarakat yang mengalami kesedihan itulah kemudian pemerintah di bawah kepresidenan Megawati mendirikan MK pada 13 Agustus 2003.
“Sekretaris Negara, mencarikan sendiri gedungnya dan saya putuskan berada di dekat Istana, yaitu suatu tempat yang sangat strategis yang disebut sebagai ring satu,” ujar Megawati.
Baca juga: Megawati: Yang Terjadi di MK Menyadarkan bahwa Manipulasi Hukum Kembali Terjadi
Megawati menyebut, gejolak yang terjadi di MK beberapa waktu belakangan membuka mata masyarakat dan memperlihatkan adanya praktek manipulasi hukum.
Menurutnya, peristiwa semacam itu bisa terjadi karena praktek kekuasaan yang mengabaikan kebenaran hakiki dan politik berdasarkan nurani.
“Apa yang terjadi di Mahkamah Konstitusi akhir-akhir ini telah menyadarkan kita semua, bahwa berbagai manipulasi hukum kembali terjadi,” ujar Megawati.
Megawati kemudian mengingatkan, hukum seharusnya menjadi sarana untuk menghadirkan kebenaran dan keadilan. Hukum juga harus mengayomi seluruh masyarakat.
Dengan keadilan itu, kata megawati, kemakmuran bisa terwujud.
Baca juga: Kekhawatiran Megawati dan Surya Paloh Jelang Pemilu 2024
Putri Presiden Ke-1 RI Soekarno itu juga mengingatkan masyarakat tidak takut menyuarakan protes pada ketidakadilan.
Ia mengatakan, Pemilu 2024 sebagai momentum untuk mendapatkan pemimpin terbaik tidak boleh dicurangi.
“Rekayasa hukum tidak boleh terjadi lagi,” ujar Megawati.
“Rakyat jangan diintimidasi seperti dulu lagi. Jangan biarkan kecurangan Pemilu yang akhir ini terlihat sudah mulai akan terjadi lagi,” katanya melanjutkan.
Baca juga: Soal Pidato Megawati, Bahlil: Kubu Prabowo-Gibran Fokus Bekerja untuk Kemenangan
Sebelumnya, putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 menjadi sorotan karena dinilai menjadi karpet merah bagi putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka melenggang menjadi bakal cawapres.
Putusan itu mengatur mengenai klausul tambahan terkait batas usia minimal bakal capres dan cawapres.
Karena banyaknya laporan dugaan pelanggaran etik atas putusan tersebut, MK akhirnya membentuk MKMK yang dipimpin Jimly Asshiddiqie.
Dalam putusannya, MKMK menyatakan semua hakim konstitusi melanggar etik karena informasi Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) bocor.
Selain itu, Ketua MK Anwar Usman yang diketahui sebagai adik ipar Presiden Joko Widodo juga dinyatakan terbukti melanggar etik berat karena melobi hakim lain dalam memutus perkara tersebut.
Terhadap Anwar Usman kemudian diberhentikan dari posisinya sebagai Ketua MK. Lalu, dilarang turut ambil keputusan dalam perkara sengketa terkait hasil pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota DPR, DPRD serta DPD, hingga hasil pemilihan kepala daerah selama disinyalir mengandung konflik kepentingan.
Baca juga: Buka Suara soal Putusan MK, Megawati Cium Kecurangan Pemilu Mulai Terjadi
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.