JAKARTA, KOMPAS.com - Juru Bicara sekaligus salah satu Deklarator Maklumat Juanda Usman Hamid mengatakan rencana pencalonan putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto merupakan praktik kolusi dan nepotisme.
Usman menilai, apa yang terjadi belakangan untuk memuluskan langkah Gibran ke Pilpres 2024 merupakan kemunduran agenda reformasi.
"Sulit disangkal bahwa politik pencalonan Gibran dengan Prabowo adalah politik kolusi dan nepotisme. Ini semakin menambah mundur agenda reformasi dan demokrasi yang tidak mudah kita tegakkan selama 25 tahun," ujar Usman saat dimintai konfirmasi, Minggu (22/10/2023).
Baca juga: Hadiri Deklarasi Prabowo-Gibran, Hashim: Yang Ngomong Dinasti Politik, Lihat Cermin Dong
Usman menjelaskan, reformasi memperingatkan penguasa bahwa tidak boleh ada pemusatan kekuasaan.
Namun, yang terjadi sekarang, kata dia, adalah penebalan dan pemusatan kekuasaan Presiden Jokowi.
Usman menegaskan reformasi seharusnya melarang praktik-praktik yang lebih menguntungkan sekelompok tertentu, seperti keluarga, hingga kroni-kroni sendiri yang bisa menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme di antara pejabat dan pengusaha.
"Ini merusak sendi-sendi penyelenggaraan negara yang demokratis," ucapnya.
Usman juga mengingatkan bahwa seorang pemimpin wajib melaksanakan tugasnya dengan baik dan bertanggung jawab kepada masyarakat, bangsa, dan negara, bukan untuk keluarga dan kroni-kroninya.
Oleh karena itu, Usman memandang kentalnya politik dinasti dan nepotisme ini adalah bentuk tindakan yang tidak punya etika dari Jokowi selaku kepala negara saat ini.
Usman bahkan menyebut Jokowi tanpa malu-malu menyalahgunakan kekuasaan yang sedang dipegangnya untuk mengistimewakan keluarga sendiri.
"Anak-anaknya yang minim pengalaman dan prestasi politik menikmati jabatan publik maupun fasilitas bisnis yang tak mungkin didapat tanpa status anak kepala negara/presiden yang berkuasa," imbuh Usman.
Baca juga: Bupati Kendal Dukung Gibran Jadi Cawapres Prabowo
Sebelumnya, diberitakan Kompas.id, hanya satu jam setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan uji soal batas usia capres-cawapres, ratusan orang dari berbagai kalangan, yakni guru besar, agamawan, budayawan, pegiat literasi, pegiat antikorupsi, pemerhati hak asasi manusia, tokoh pendidikan, wartawan, seniman, dan lapisan masyarakat berkumpul di Malacca Toast, Jalan Juanda, Jakarta, Senin (16/10/2023) sore.
Mereka menyampaikan keprihatinan dan kekecewaan atas putusan MK yang dinilai melanggengkan politik dinasti di Indonesia.
Dalam putusannya, MK menyatakan, seseorang yang belum berusia 40 tahun, tetapi pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah, bisa maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.
Reformasi kembali ke titik nol. Mundurnya Reformasi ditandai dengan merosotnya demokrasi dan diperburuk oleh fenomena politik dinasti.