JAKARTA, KOMPAS.com - Ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti menilai, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 menguntungkan putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka secara langsung.
Putusan tersebut membolehkan seseorang dengan usia di bawah 40 tahun menjadi calon presiden atau wakil presiden jika berpengalaman menjadi kepala daerah.
Bivitri mempersoalkan hubungan keluarga antara Ketua MK Anwar Usman yang merupakan adik ipar Jokowi atau paman Gibran.
Hal ini membuat dugaan konflik kepentingan dalam putusan ini menjadi jelas.
"Apakah ada benturan kepentingan? Pertama, kita bisa 'membaca' dengan jelas bahwa yang akan diuntungkan langsung oleh putusan ini adalah Gibran Rakabuming, yang memiliki hubungan keluarga dengan Ketua MK," kata Bivitri saat dihubungi Kompas.com, Senin (16/10/2023).
Baca juga: Sekjen PDI-P Percaya Gibran Miliki Prinsip yang Kokoh sebagai Kader PDI-P
Faktor lain yang dinilai membuat benturan kepentingan itu menjadi jelas yakni pemohon perkara tersebut, seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A.
Dalam berkas putusan itu tertulis Almas sebagai pengagum Gibran selaku Wali Kota Solo.
“Perkara 90/PUU-XXI/2023, yang menyebutkan nama Gibran sebagai pihak yang diidolakan oleh pemohon, sehingga benturan kepentingannya sangat terang,” ucap Bivitri.
Selain itu, Bivitri menilai, Mahkamah menggunakan argumentasi yang politis.
Ia mengelompokkan tujuh gugatan batas usia capres atau cawapres yang diputus ke dalam tiga pola.
Pertama, permohonan hanya menggugat batas usia yakni perkara 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan PSI.
Baca juga: PSI Kecewa MK Tolak Uji Materi Batas Usia Capres-Cawapres 35 Tahun
Kedua, pemohon menggugat agar persyaratan disamakan dengan penyelenggara negara yang tertuang dalam Perkara 51/PUU-XXI/2023 dan 55/PUU-XXI/2023. Gugatan diajukan oleh Partai Garuda dan kepala daerah.
Ketiga, gugatan yang meminta agar batas usia disamakan dengan elected officials lainnya, termasuk di level daerah.
Menurut Bivitri, putusan MK terhadap tiga pola perkara itu tidak konsisten. Jika pola perkara pertama ditolak, kata dia, maka pola kedua dan ketiga juga harus ditolak dengan alasan yang sama.
“Karena semua perkara itu, pola yang mana pun, sebenarnya tengah meminta MK memutus suatu perkara yang sebenarnya bukan wilayah MK, alias wilayah pembentuk UU (open legal policy),” tutur Bivitri.
Baca juga: Soal “Dissenting Opinion” Putusan MK, Sekjen Gerindra: Itu Bagian Tak Terpisahkan dari Putusan