Perkara nomor 40 diajukan oleh Federasi SP KEP SPSI, Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP IP), Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPI), Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia ’98 (PPMI ’98), Serikat Pekerja PT Perusahaan Listrik Negara (PERSERO) (SP PLN), Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, Pertambangan, Minyak, Gas Bumi, dan Umum (FSP KEP).
Selain itu, Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa Bali (SP PJB), Federasi Serikat Pekerja Pariwisata Reformasi (FSP PAR), Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP TSK SPSI), dan Serikat Pekerja Aqua Group (SPAG) serta perorangan Laksono Widodo dan Kurniadi.
Perkara nomor 41 dilayangkan perorangan oleh Elly Rosita Silaban dan Dedi Hardianto. Perkara nomor 46 dimohonkan tiga orang, Agus Ruli Ardiansyah, Mansuetus Alsy Hanu, dan Dewi Kartika.
Dilansir dalam laman MK, salah satu perkara tercatat dengan Nomor 40/PUU-XXI/2023 menilai UU Cipta Kerja cacat secara formil.
Selain itu, berlakunya Pasal 81 UU Cipta Kerja menjadi penyebab terjadinya kerugian yang dapat berakibat hilangnya pekerjaan.
Secara substansi UU Cipta Kerja juga dinilai para pemohon telah banyak merugikan pekerja dengan penerapan regulasi Cipta Kerja yang mempermudah mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Kemudian, mereka menilai ada perubahan di bidang ketenagakerjaan sebagaimana yang terdapat dalam pasal-pasal UU Cipta Kerja telah mendegradasi perlindungan yang seharusnya diberikan negara kepada pekerja yang sebelumnya telah diatur lebih baik dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.