Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Furqan Jurdi
Praktisi Hukum dan Penulis

Aktivis Muda Muhammadiyah

Korupsi BTS Terstruktur, Sistematis, dan Masif

Kompas.com - 27/09/2023, 11:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

NEGARA-negara miskin dan terbelakang sangat rentan terhadap korupsi terlepas dari bentuk pemerintahan mereka seperti apa, apakah otokrasi atau demokrasi tingkat korupsinya akan sangat tinggi.

Charron dan Lapuente (2009), mengklaim bahwa dampak demokratisasi terhadap kualitas pemerintahan bergantung pada tingkat kekayaan ekonomi: pada tingkat pembangunan ekonomi yang rendah, demokrasi diperkirakan akan memberikan dampak negatif.

Demokrasi mungkin berguna dalam pemberantasan korupsi karena memungkinkan penggunaan perangkat dan strategi lebih luas, tetapi demokrasi bukanlah solusi yang tepat.

Demokrasi juga menjanjikan adanya mekanisme chek and balances antarlembaga negara, namun kontrol itu tidak berjalan efektif.

Negara-negara dengan tingkat korupsi yang paling tinggi memperlihatkan bahwa negara dengan kemiskinan akut.

Baik otokrasi maupun demokrasi keduanya tidak memberikan jaminan bahwa korupsi akan diberantas, malah justru negara-negara dengan kekuasaan segelintir elite lebih mampu mengontrol korupsi ketimbang negara demokrasi.

Indonesia negara demokrasi, tetapi juga negara terkorup di Asia Tenggara (Trancparancy Internasional 2022).

Kenyataan itulah yang kita saksikan hari-hari ini di Indonesia. Korupsi, kolusi dan nepotisme berjalan semakin menguat di semua institusi negara, baik itu legislatif, eksekutif maupun yudikatif.

Korupsi yang terjadi di Indonesia menyebar secara meluas dan mendalam di institusi politik dan institusi negara.

Misalnya, korupsi di Kementerian Komunikasi dan Informasi. Dalam pembangunan infrastruktur telekomunikasi (BTS) 4G tergambar jelas betapa kita masih menjadi negara korup dengan kategori meluas dan mendalam.

Mental korup ini menggambarkan pejabat dan politisi kita yang miskin dan oportunis. Mereka miskin dalam moral, rakus kekuasaan dan kekayaan demi pengakuan dan eksistensi untuk merawat diri dan kekuasaan mereka.

Dalam kasus korupsi BTS 4G kita melihat bagaimana “perampokan uang negara” dilakukan dengan cara terstruktur, sistematis dan massif.

Mulai dari perencanaan, pengadaan, pencurian uang negara, pengamanan hasil curian supaya lolos dari jeratan hukum dilakukan secara terstruktur dan sistematis dengan korupsi yang begitu masif.

Kita seperti hidup dalam negara para kleptokrat, di mana para koruptor telah merencanakan semua kejahatannya dengan sangat sistematis.

Setidaknya ada tiga tahap dalam kasus Korupsi BTS yang dikategorikan sebagai kejahatan terstruktur, sistematis dan masif (TSM), yaitu: 1) Memulai skema korupsi; 2) Menyembunyikan dan mencuci hasil kejahatan korupsi; 3) Menutupi kejahatan dengan menyuap penegak hukum.

Ketiga skema itu terungkap dari kesaksian saksi mahkota yang bersaksi di Pengadilan untuk Mantan Menteri Kominfo Jonny G Plate cs. Jelas bahwa kejahatan tersebut bersifat TSM, namun mereka sial untuk kali ini.

Korupsi di Kominfo hanya satu di antara korupsi-korupsi besar yang belum terungkap oleh penegak hukum.

Proyek BTS yang dianggarkan Rp 10 triliun itu diduga dikorupsi sekitar Rp 8 triliun. Artinya 80 persen dari anggaran dinikmati oleh elite-elite, baik pejabat di Kominfo maupun pengusaha yang menjadi konsorsium pemenang tender proyek jumbo tersebut. Sepertinya rencana pembangunan BTS 4G untuk “cawe-cawe” uang negara.

Kesaksian Irwan Hermawan, Direktur PT Solitech Media Sinergy terungkap bagaimana uang itu dibagi-bagi. Irwan mengaku memberikan uang Rp 27 milyar kepada Dito Ariotedjo.

Dito yang dimaksud adalah Menteri Pemuda dan Olahrga sekarang ini. Kenapa Dito mendapatkan uang sebesar itu?

Dito, menurut Irwan, bisa menghentikan proses penyelidikan terhadap dugaan korupsi terhadap proyek BTS. Dito katanya, punya jaringan ke penegak hukum untuk menghentikan penyelidikan.

Belakangan uang Rp 27 milyar itu dikembalikan oleh orang tidak dikenal kepada pengacara salah satu terdakwa korupsi BTS. Namun dugaan peran Dito sebagai “makelar kasus” terus berkembang hingga pengadilan.

Upaya untuk menghentikan penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi yang sangat besar itu memang memerlukan cara-cara mahal. Namun kejahatan tetaplah kejahatan, pasti cepat atau lambat akan terbongkar.

Kerugian negara yang cukup besar itu berdampak meluas dan mendalam bagi rakyat Indonesia.

Para Koruptor mungkin akan dihukum, namun hukumannya tidak sebanding dengan kejahatan yang mereka lakukan. Inilah model korupsi di negara demokrasi yang miskin. Kasar dan brutal.

Tidak hanya upaya menghentikan proses hukum dilakukan. Proyek yang merugikan negara Rp 8 triliun itu diupayakan untuk diputihkan dan dicatat sebagai proyek transparan, bersih dan bebas dari kerugian negara.

Dari sumber yang sama, Irwan mengaku, Anang Herman Latif (Terdakwa) memerintahkan dirinya untuk memberikan uang kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebesar Rp 40 miliar karena proyek itu bermasalah dan akan diaudit oleh BPK.

Tujuan pemberian uang Rp 40 miliar itu tentu kita dapat mengerti, karena tugas BPK adalah mengaudit. Jadi hasil audit supaya diarahkan pada capaian positif.

Cara-cara seperti ini sering dilakukan oleh para kleptokrat. Mereka berupaya mendapatkan reputasi positif. Mereka akan bekerja dengan jenis pendukung tertentu untuk memperoleh citra baru yang bersih. Sehingga hasil kejahatannya tidak dapat dideteksi.

Masih ada satu lagi yang harus dibungkam, yaitu lembaga pengontrol kebijakan pemerintah, yakni DPR.

Dalam pengakuan Windi Purnama Direktur PT Multimedia Bedirkari, dia mengaku memberikan uang kepada Komisi 1 DPR RI senilai Rp 70 miliar.

Aliran dana itu dari Direktur PT Sansaine Exindo Jemy Setjiawan untuk diberikan kepada orang yang bernama Nistra Johan yang diketahui sebagai Staf Komisi I DPR RI.

Coba bayangkan, mulai dari DPR sebagai pengontrol kebijakan pemerintah, BPK sebagai lembaga audit dan penegak hukum sebagai pemberantas korupsi diupayakan untuk disuap demi menyembunyikan kejahatan serius itu.

Kalau upaya itu berhasil, tentu anggaran negara Rp 8 triliun akan lenyap seperti uap, rakyat hanya gigit jari dalam kesusahan dan kemiskinan.

Bagi saya, dari uang Rp 8 triliun itu masih ada yang belum terungkap. Berkembang dugaan mengalir ke partai-partai politik. Ini harus diusut dengan tuntas.

Aliran dana yang cukup besar tidak mungkin hanya sekadar Jonny Plate Cs, ini pasti ada keterlibatan orang lain yang lebih besar dan memiliki kekuasaan yang besar pula.

Bagi saya ini ada keterlibatan kelompok lain. Dalam kejahatan besar, para kleptokrat bisanya menggunakan banyak cara untuk menggelapkan dana publik.

Misalnya dalam kejahatan besar seperti ini, selalu terlibat korporasi, agen real estat, firma hukum, penyedia layanan korporat, lembaga keuangan dan lembaga konsultan.

Jaringan-jaringan ini jarang diselidiki atau dituntut atas peran mereka dalam skema korupsi yang dilakukan kleptokrat.

Kejaksaan Agung harus berani mengambil tindakan terstruktur, sistematis, masif serta mendalam dan meluas untuk mencari dan menemukan pihak-pihak yang terlibat.

Sehingga kita dapat mulai memberantas korupsi secara serius dan tidak boleh lagi ada yang bersembunyi di balik kekuasaan dan pengaruh untuk mengamankan kejahatan mereka.

Kleptokrat akan merawat diri mereka dengan kemewahan lewat penggelapan dana publik. Sementara rakyat dibiarkan hidup dalam kemiskinan.

Akibatnya bangsa ini terus merawat kemiskinan dan terus menciptakan pengangguran yang kian besar.

Kalau korupsi tidak mampu diberantas, maka kita merawat kemiskinan. Kalau kemiskinan terus dirawat, maka kita akan tetap menjadi negara korup.

Demokrasi yang dibangun akhirnya menjadi kleptokrasi, kekuasaan dikendalikan para maling. Mereka menunggangi demokrasi demi keuntungan mereka.

Bahayanya, kleptokrat yang menunggangi demokrasi lebih berbahaya dari otokrasi. Kalau otokrasi hanya segelintir orang yang memiliki kekuasaan, sementara demokrasi dipegang oleh banyak orang. Kalau banyak orang itu sudah melakukan korupsi, maka kiamat lah negara ini.

Tentu kita tidak ingin itu terjadi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Indikator Politik: 90,4 Persen Pemudik Puas dengan Penyelenggaraan Mudik Lebaran Tahun Ini

Indikator Politik: 90,4 Persen Pemudik Puas dengan Penyelenggaraan Mudik Lebaran Tahun Ini

Nasional
Di Sidang Tol MBZ, Pejabat Waskita Mengaku Bikin Proyek Fiktif untuk Penuhi Permintaan BPK Rp 10 Miliar

Di Sidang Tol MBZ, Pejabat Waskita Mengaku Bikin Proyek Fiktif untuk Penuhi Permintaan BPK Rp 10 Miliar

Nasional
Tiba-tiba Hampiri Jokowi, ASN di Konawe Adukan Soal Gaji yang Ditahan Selama 6 Tahun

Tiba-tiba Hampiri Jokowi, ASN di Konawe Adukan Soal Gaji yang Ditahan Selama 6 Tahun

Nasional
TKN Sebut Jokowi Tak Perlu Jadi Dewan Pertimbangan Agung: Beliau Akan Beri Nasihat Kapan pun Prabowo Minta

TKN Sebut Jokowi Tak Perlu Jadi Dewan Pertimbangan Agung: Beliau Akan Beri Nasihat Kapan pun Prabowo Minta

Nasional
ASN yang Tiba-Tiba Hampiri Jokowi di Konawe Ingin Mengadu Soal Status Kepegawaian

ASN yang Tiba-Tiba Hampiri Jokowi di Konawe Ingin Mengadu Soal Status Kepegawaian

Nasional
Khofifah Sebut Jokowi Minta Forum Rektor Bahas Percepatan Indonesia Emas 2045

Khofifah Sebut Jokowi Minta Forum Rektor Bahas Percepatan Indonesia Emas 2045

Nasional
Presiden Jokowi Serahkan Bantuan Pangan bagi Masyarakat di Kolaka Utara

Presiden Jokowi Serahkan Bantuan Pangan bagi Masyarakat di Kolaka Utara

Nasional
Ditanya Bakal Ikut Seleksi Capim KPK, Nawawi: Dijawab Enggak Ya?

Ditanya Bakal Ikut Seleksi Capim KPK, Nawawi: Dijawab Enggak Ya?

Nasional
Soal Revisi UU MK, Pengamat: Rapat Diam-diam adalah Siasat DPR Mengecoh Publik

Soal Revisi UU MK, Pengamat: Rapat Diam-diam adalah Siasat DPR Mengecoh Publik

Nasional
Pertamina Gandeng JCCP untuk Hadapi Tantangan Transisi Energi

Pertamina Gandeng JCCP untuk Hadapi Tantangan Transisi Energi

Nasional
Imbas Kecelakaan di Subang, Muhadjir: Jangan Menyewa Bus Kecuali Betul-betul Bisa Dipercaya

Imbas Kecelakaan di Subang, Muhadjir: Jangan Menyewa Bus Kecuali Betul-betul Bisa Dipercaya

Nasional
Antisipasi Rumor, Fahira Idris Minta Penyelenggara dan Legislator Klarifikasi Penerapan KRIS secara Komprehensif

Antisipasi Rumor, Fahira Idris Minta Penyelenggara dan Legislator Klarifikasi Penerapan KRIS secara Komprehensif

Nasional
Kenaikan Beras Tak Setinggi Negara Lain, Jokowi: Patut Disyukuri Lho...

Kenaikan Beras Tak Setinggi Negara Lain, Jokowi: Patut Disyukuri Lho...

Nasional
3 Kriteria Jemaah Haji yang Bisa Dibadalhajikan: Wafat, Sakit dan Gangguan Jiwa

3 Kriteria Jemaah Haji yang Bisa Dibadalhajikan: Wafat, Sakit dan Gangguan Jiwa

Nasional
Nurul Ghufron Beri Sinyal Kembali Ikut Seleksi Capim KPK 2024-2029

Nurul Ghufron Beri Sinyal Kembali Ikut Seleksi Capim KPK 2024-2029

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com