KAESANG Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi), resmi menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Ia dikukuhkan dalam acara Kopi Darat Nasional (Kopdarnas) yang digelar di Djakarta Theater, Senin (25/9/2023) malam (Kompas.com, 25/09/2023).
Terkesan akrobatik. Begitu gampang seseorang menjadi ketua umum partai politik (parpol), begitu gampang pula parpol mengangkat seseorang yang baru beberapa hari memegang kartu anggota sebagai pemimpin puncak.
Terkesan tak ada kaidah organisasi. Atau, barangkali pragmatisme politik lah yang menjadi kaidah.
Pragmatisme politik mengalahkan aturan organisasi yang bersifat normatif. Pragmatisme politik hanya melihat “momentum”. Kapan lagi, ada momentum baik yang strategis dilihat dari banyak sisi. Momentum tak akan datang dua kali.
Publik tahu Kaesang Pangarep. Meski “belum apa-apa” di kancah politik dibandingkan ayahandanya, Jokowi, dan Gibran, kakak kandungnya, Kaesang punya nilai jual politik tinggi. PSI tahu itu dan tak ingin keduluan parpol lain.
Banyak kritik ditujukan kepada Kaesang. Nilai jual politik Kaesang yang tinggi tak sepadan dengan yang diperolehnya dari PSI, parpol yang diprediksi lembaga survei tak lolos ke Senayan.
Boleh jadi Kaesang hanya dimanfaat untuk menyelamatkan PSI dari ancaman tak masuk Senayan pada Pemilu 2024.
Kritik lain, Kaesang dinilai “tak elok”, karena keluar dari jalur politik yang telah membesarkan keluarga besarnya. Sebagian publik menganggapnya tak tahu balas budi, tak tahu diuntung.
Meski Jokowi, ayahandanya, berkilah bahwa Kaesang telah mandiri dan telah berkeluarga sendiri, sehingga punya kebebasan yang harus dihargai. Sangat bisa dipahami bila sebagian publik mengecamnya.
Namun, saya mencoba membaca sisi lain. Mengapa Kaesang memilih jalur politik yang mengundang kritik dan kecaman sebagian publik? Meski ia menganggapnya tak seberapa dibanding kecaman yang pernah diterima keluarga besarnya.
"Enggak sebanding yang dituduh PKI, antek China, anti Islam, planga-plongo, ijazah palsu," ucap Kaesang (Kompas.com, 25/0/2023).
Saya mencoba memahami alasan Kaesang akhirnya memasuki kancah politik. Alasan yang menurut saya menarik dan berani.
Sebagai anak muda, Kaesang menilai dunia politik telah dipenuhi pesimisme dan sinisme. Dunia politik sedang berwajah buruk, sedang tak baik-baik saja.
"Politik terlanjur diasosiasikan sebagai pusatnya berantem, fitnah, hoaks, korupsi, money politic, dan sebagainya," kata Kaesang (Kompas.com, 25/09/2023).
Di mata Kaesang, politik sejatinya bukan seperti itu. Politik mestilah menjadi sumber kebaikan dan kesejahteraan. Itulah hakekat politik.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.