Sebab, mereka tidak suka politik, memilih untuk tidak memilih dan bingung hendak memilih siapa. Suka dengan caleg dan kandidat capres-cawapres, tetapi tidak suka dengan partainya ataupun sebaliknya.
Senada dengan hasil survei Kompas bahwa sebanyak empat dari 10 responden muda mengaku jarang turut serta dalam diskusi atau perdebatan politik di media sosial.
Dalam proporsi serupa, mereka bahkan tidak pernah mengikuti sama sekali. Hanya 21,7 persen yang mengaku terlibat dalam diskusi daring dengan intensitas tinggi dan sedang.
Wajar ketika sebagian besar anak muda lebih tertarik menikmati konten-konten hiburan dibandingkan informasi maupun pemberitaan politik.
Studi yang dilakukan Sugihartati (2018) di Surabaya dan Malang menemukan anak-anak muda yang disebut sebagai generasi milenial, alih-alih berkomitmen dan terlibat aktif dalam gerakan pemberdayaan masyarakat marjinal dan reformasi politik, justru lebih sering menjadi bagian dari leisure class yang menampilkan gaya hidup santai, hedonistik, acuh tak acuh.
Karakter anak muda yang mudah terbawa pada kesenangan sesaat dan sangat narsistik. Rhenald Kasali mencontohkan bagaimana tragedi di Taiwan dan Kanjuruhan.
Hal ini kemudian diperparah dengan keributan-keributan yang semestinya tidak perlu terjadi sehingga pilihannya terombang-ambing.
Kehebohan yang terekam anak muda di media sosial, semisal, terkait dengan benturan politik dan agama, di mana penggunaan isu politik identitas kembali bermunculan.
Kata toleransi, keberagaman, pluralisme malah dipolitisasi. Padahal, diksi tersebut bukan hanya sekadar diwacanakan, apalagi dikomodifikasi untuk kepentingan politik, tetapi yang jauh lebih substansi harus dipahami sebagai suatu ikatan dan pertalian sejati seperti disimbolkan dalam Bhinneka Tunggal Ika sehingga menjadi nilai kemanusiaan yang universal (Maarif, 2019).
Prof Rhenald juga menyoroti bahwa salah satu tantangan terbesar pemilu 2024 untuk anak muda adalah demokrasi di era post truth.
Sangat ironi ketika di era ini melahirkan banyak paradoks, matinya kepakaran, begitu bebas menyuarakan hoax, misinformasi, disinformasi, termasuk juga hal yang menghambat sisi mendasar alam demokrasi. Berbeda pilihan dianggap permusuhan.
Iklim sosial-politik membiarkan emosi atau hasrat memihak ke keyakinan untuk mengalahkan obyektivitas dan rasionalitas, meskipun sebetulnya fakta menunjukkan hal yang berbeda (Llorente dalam Haryatmoko, 2022).
Realitas dan fakta tidak lebih penting dari opini. Bukan hal yang aneh ketika ada anggota Dewan di parlemen atau kandidat yang tidak terlihat kinerjanya tetapi tinggi dalam hasil survei.
Apa yang akan terjadi pada 2024, bisa jadi isu hoax lebih marak dibandingkan dengan pemilu 2019, apabila tidak dilakukan antisipasi sejak dini.
Terlebih, intuisi dan emosi lebih banyak berperan dalam menerima dan membentuk opini publik ketimbang mengecek kebenaran dan mendorong untuk berpikir kritis.
Dalam bukunya, Media, Politics and Network Society yang ditulis, Robert Hassan (2004) mengungkapkan bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi serta globalisasi kapitalisme telah menyebabkan kelompok masyarakat madani menjadi terhegemoni. Sebab, mereka menjadi target pasar bagi kekuatan industri (Baudrillard, 2006).
Keterlibatan anak muda di media sosial perlu secara masif untuk bisa merebut serta menaklukan narasi publik, melawan ketidakadilan, ketidaksetaraan, diskriminasi, penyalahgunaan kekuasaan, adu domba, bias jender, perundungan, dan politik yang memecah belah.
Pesan yang selalu diingatkan oleh praktisi bisnis terkemuka Indonesia ini kepada anak muda “Bangun komunikasi publik yang beradab karena ruang publik itu adalah ruang kita bersama. Kedepankan etika dan moralitas untuk menciptakan pemilu berintegritas!”.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.