BERBEDA dengan Indonesia dan beberapa negara berkembang yang saat ini tengah bersiap menghadapi tantangan terkait bonus demografi, sejumlah negara maju kini justru sedang menghadapi ancaman baru berupa krisis demografi.
Apabila bonus demografi diidentikkan dengan meningkatnya populasi penduduk pada usia produktif, maka sebaliknya, krisis demografi terjadi akibat berkurangnya jumlah penduduk, yang utamanya berada di zona usia produktif menyusul menurunnya angka kelahiran di suatu negara.
Meningkatnya biaya hidup dan faktor perubahan sosial menjadi bagian dari penyebab terjadinya krisis demografi.
Kini, beberapa negara di wilayah Asia Timur seperti China, Jepang, dan Korea Selatan mulai merasakan dampak dari fenomena ini di berbagai sektor, tak terkecuali di lingkup kekuatan militer.
Sebagai contoh, Korea Selatan sebagai salah satu negara terdampak krisis demografi tercatat memiliki jumlah kekuatan militer yang semakin menurun dari tahun ke tahun.
Jumlah anggota personel militer Korea Selatan pada 2022 hanya berjumlah 500.000 orang. Angka tersebut turun secara signifikan bila dibandingkan pada 2017 yang berkisar 618.000 orang.
Sebagai respons dari fenomena tersebut, pemerintah Korea Selatan mengeluarkan kebijakan baru berupa kenaikan batas usia bagi tiap warga negaranya yang berminat mendaftar di kemiliteran, serta mendorong semakin banyaknya personel wanita dan non-commisioned officer (bintara) untuk bergabung di dalamnya.
"The 2022 Defense White Paper Korea Selatan" menyebut bahwa sebagai hasil dari kebijakan Kementerian Pertahanan Negeri Ginseng tersebut guna menambah personel wanita dalam militernya dari tahun 2018 hingga 2022, jumlah personel wanita di tubuh militer Korea meningkat dari 6,2 persen tahun 2018 menjadi 9 persen pada 2022.
Kebijakan Korea Selatan dalam mendorong semakin banyaknya wanita untuk terjun dalam tugas-tugas kemiliteran bukanlah tanpa alasan.
Hal ini sepertinya tercermin dari perkiraan jumlah warga negara laki-laki yang mengikuti perekrutan wajib militer di Korea Selatan menurun secara drastis dari semula 334.000 orang pada 2020 menjadi 236.000 orang pada 2025.
Hal ini secara tidak langsung menunjukkan adanya penurunan angka kelahiran bayi laki-laki di Korea Selatan dalam beberapa tahun terakhir.
Selain itu, sebagai bagian dari upaya peningkatan kemampuan dan kapabilitas di tengah menurunnya angka kekuatan personel, pemerintah Korea Selatan juga mengupayakan penggencaran anggotanya untuk mengikuti pendidikan di level perguruan tinggi.
Hal ini dilakukan agar militer Korea Selatan dapat mengoptimalkan penggunaan sistem persenjataan yang lebih mutakhir demi meningkatkan efektivitas operasi.
Sama halnya dengan Korea Selatan, China juga mengalami fenomena demografi serupa.
Sejak diberlakukannya kebijakan satu anak sejak 1979 akibat dari kekhawatiran pemerintah China akan meledaknya populasi, Negeri Tirai Bambu tersebut kini harus berjibaku dengan rekrutmen personel militer baru karena menurunnya angka kelahiran.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.