Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Affan Ramli
Pengajar

Pengajar Berpikir Kritis di Komunitas Studi Agama dan Filsafat (KSAF) dan di Akademi Adat (AKAD)

Kampanye di Lembaga Pendidikan, Kenapa Cemas Berlebihan?

Kompas.com - 28/08/2023, 10:49 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MAHKAMAH Konstitusi (MK) membolehkan penggunaan fasilitas pendidikan untuk kampanye politik dengan dua syarat.

Pertama, mendapat izin dari penanggungjawab lembaga pendidikan bersangkutan. Kedua, tidak menggunakan atribut kampanye.

Banyak pihak memberi respons keberatan pada putusan ini. Padahal, kalau dipercakapkan secara jujur apa adanya, putusan MK ini hanya melegalkan praktik-praktik yang sudah lama berjalan secara diam-diam dalam pengalaman politik elektoral di Indonesia.

Berbagai penelitian menunjukan kampus, sekolah, madrasah, dan pesantren sudah terbiasa memberi ruang kepada tim sukses (timses) kubu politik tertentu yang dekat dengan penguasa.

Namun, banyak pihak cemas berlebihan pada putusan itu. Satu di antaranya adalah Muhammadiah.

Ormas Islam terkaya di dunia itu menegaskan tak akan memberi izin lembaga-lembaga pendidikan di bawah binaannya digunakan untuk kampanye Pemilu 2024.

Tentu, lembaga-lembaga pendidikan di bawah Muhammadiah bekerja lebih otonom. Begitupun lembaga-lembaga pendidikan milik yayasan lainnya.

Lembaga pendidikan negeri tak seberuntung itu. Para pengelolanya, dari sekolah dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) sampai perguruan tinggi (PT) dikendalikan penuh oleh pemerintah.

Sebagian di bawah Kemendikbud Ristek, sebagian dikendalikan pemerintah provinsi, sebagian dikontrol pemerintah kabupaten/kota, dan sebagian lagi di bawah kendali Kemenag.

Dalam praktiknya selama ini, komunitas penyelenggara pendidikan, terutama guru dan kepala sekolah tidak pernah dibiarkan netral tiap kali ajang Pemilu diselenggarakan.

Mereka digiring oleh atasan masing-masing untuk terlibat aktif menyukseskan kandidat tertentu. Sembunyi-sembunyi, terkadang setengah terang benderang.

Kenyataannya demikian, kita belum bisa membayangkan para kepala Dinas Pendidikan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, begitupun kepala kantor wilayah Kemenag di tingkat provinsi dan kepala kantor Kemenag di tingkat kabupaten/kota memilih diam tak terlibat dalam proses-proses politik Pemilu.

Pilihan paling masuk akal, memobilisasi sumber daya orang yang mereka kendalikan di dunia kerja.

Seperti ada kesepahaman umum, guru-guru dan kepala-kepala sekolah atau madrasah boleh diorganisasi untuk memenangkan kandidat yang punya hubungan dekat dengan kekuasaan. Selama tidak ketahuan. Lebih tepatnya, selama tidak dapat dibuktikan secara hukum.

Kesepahaman ini serupa dengan cara publik merespons praktik politik uang. Boleh-boleh saja, selama tak dapat dibuktikan pihak lawan.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com