TULISAN ini Saya tujukan untuk memprovokasi publik bahwa hak warga negara dalam memilih adalah hak asasi manusia (HAM).
Membela HAM dalam berpartisipasi pada Pemilu, tidak lebih rendah dengan bentuk HAM yang lain (kebebasan beragama, berekspresi dan lainnya).
Sejatinya hak warga negara dalam pemilu tidak sekadar sarana suksesi yang di aktualisasi di balik bilik suara. Lebih dari itu, Pemilu adalah ruang partisipasi warga sehingga sebelum memilih, mereka lebih dahulu memilah dan membedah calonnya.
Di sinilah penyelenggara pemilu dituntut perannya. Ibarat sajian, para kandidat dibeberkan layaknya menu yang lengkap dengan kandungannya.
Daftar calon sementara (DCS) pemilu legislatif yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, hanya sekadar informasi daftar nama caleg tanpa manfaat apapun.
Publikasi DCS oleh KPU menyiratkan lembaga penyelenggara pemilu gagal mendorong partisipasi.
DCS tanpa biodata jadi faktor penghalang membangun kedekatan warga dengan calon. Mustahil membentuk candidacy engagement tanpa candidacy knowledge yang lengkap.
Alih-alih mengakomodasi desakan publik, KPU bergeming dengan dalih perlindungan data pribadi dan keterbukaan informasi publik. Alasan itu tidak sedikit dibalas sanggahan dari banyak pakar hukum.
Terlepas dari alasan yang didalilkan KPU, kesimpulan penulis bahwa KPU tidak menerapkan hukum progresif. Sebagai produk hukum, kebijakan DCS bertentangan dengan prinsip hukum yang harusnya berkeadilan, berkepastian, dan berkemanfaatan.
Tidak ada manfaat menyembunyikan biodata riwayat hidup calon legislatif selain melemahkan partisipasi pemilih.
Sedangkan partisipasi dalam pemilu adalah roh demokrasi. Partisipasi yang besar dapat memberi legitimasi kuat pada calon terpilih.
Saya beranggapan pemilih juga tidak muluk-muluk, mengorek-orek informasi pribadi calon legislatif yang tidak berhubungan dengan preferensi memilih, seperti informasi kesehatan atau keluarga.
Publik hanya membutuhkan informasi publik terkait visi misi kandidat, motivasi, usia, riwayat pendidikan, pengalaman organisasi, pekerjaan, dan mungkin status khusus, apakah pernah tersandung pidana atau tidak, atau identitas lain yang perlu diketahui publik sebelum memilih.
Data itu akan memudahkan pemilih melacak track record calon untuk pemilih rasional, atau menyamakan pandangan moral dan identitas bagi pemilih ideologis maupun emosional.
KPU dituntut ketegasan untuk memaksa peserta pemilu terbuka menyodorkan biodata atau riwayat hidupnya untuk kepentingan pemilu berkualitas dalam rangka melayani hak konstitusional pemilih.