JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sama-sama mengusulkan supaya pemilihan presiden secara langsung tidak perlu lagi dilakukan.
Mereka juga mengusulkan supaya posisi MPR dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara.
Hal itu disampaikan oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo dan Ketua DPD La Nyalla Mattalitti, dalam pidato di Sidang Tahunan 2023 di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Rabu (16/8/2023).
Menurut Bamsoet, sapaan Bambang, pada 14 Februari 2024 mendatang bangsa Indonesia akan menunaikan mandat konstitusi untuk mewujudkan demokrasi melalui pemilihan umum, untuk memilih wakil rakyat di DPR/DPD/DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, sekaligus memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Sedangkan peristiwa Reformasi 1998 telah melahirkan perubahan undang-undang dasar, yang sekian lama dianggap tabu untuk diubah.
Baca juga: Ketua MPR: Pembahasan PPHN Seyogianya Dilakukan Setelah Pemilu 2024
Selain itu, kata Bambang, perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah menata ulang kedudukan, fungsi dan wewenang lembaga-lembaga negara yang sudah ada, dan sekaligus menciptakan lembaga-lembaga negara yang baru. Penataan ulang itu juga terjadi kepada MPR.
"Majelis yang semula merupakan lembaga tertinggi negara, berubah kedudukannya menjadi lembaga tinggi negara. Majelis tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945," kata Bambang.
Menurut Bambang, saat ini bangsa Indonesia memutuskan pelaksanaan Pemilu 2024, dan semua pihak telah bekerja keras menyiapkannya agar berjalan secara langsung, umum, bebas, rahasia (Luber) dan jujur serta adil (Jurdil).
Pelaksanaan Pemilu setiap 5 tahun sekali merupakan perintah langsung Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945, yang secara tegas mengatur bahwa pemilihan umum dilaksanakan lima tahun sekali.
Akan tetapi, kata Bambang, sebagaimana diketahui, pemilihan umum terkait dengan masa jabatan anggota-anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden.
Baca juga: Di Depan Jokowi, Bamsoet Sebut Koalisi Masih Bisa Berubah Saat Buka Sidang Tahunan MPR 2023
Masa jabatan seluruh Menteri anggota kabinet, juga akan mengikuti masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang telah ditentukan oleh undang-undang dasar hanya selama 5 tahun.
Bambang mengatakan, yang saat ini menjadi persoalan adalah seandainya menjelang Pemilihan Umum terjadi sesuatu yang di luar dugaan, seperti bencana alam yang dahsyat berskala besar, peperangan, pemberontakan, atau pandemi yang tidak segera dapat diatasi, atau keadaan darurat negara yang menyebabkan pelaksanaan Pemilihan Umum tidak dapat diselenggarakan sebagaimana mestinya, tepat pada waktunya, sesuai perintah konstitusi.
Menurut dia, jika kondisi itu terjadi maka secara hukum tentunya tidak ada Presiden dan/atau Wakil Presiden yang terpilih sebagai produk Pemilu.
"Dalam keadaan demikian, timbul pertanyaan, siapa yang memiliki kewajiban hukum untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya tersebut? Lembaga manakah yang berwenang menunda pelaksanaan pemilihan umum? Bagaimana pengaturan konstitusional-nya jika pemilihan umum tertunda, sedangkan masa jabatan Presiden, Wakil Presiden, anggota-anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta para menteri anggota kabinet telah habis?" papar Bambang.
Baca juga: Ketua MPR: Indonesia Negara Besar, Kita Tak Boleh Bangkrut
Menurut Bambang sampai saat ini mereka belum menemukan jalan keluar secara konstitusional jika kondisi seperti itu terjadi.