Diperkirakan, Pileg DPR RI dengan peraturan baru ini bakal melenyapkan peluang sedikitnya 684 perempuan untuk masuk Senayan. Ini baru di tingkat nasional, belum provinsi dan kabupaten/kota.
KPU RI sempat berjanji akan merevisi aturan itu, namun batal melakukannya setelah melakukan serangkaian rapat formal maupun informal dengan Komisi II DPR RI.
Tak heran, aturan yang ada sekarang dinilai kontraproduktif dengan segala capaian yang berhasil diraih agar penyelenggaraan pemilu lebih berperspektif gender.
Baca juga: Komnas Perempuan Sampaikan Amicus Curiae dalam Uji Materi PKPU Keterwakilan Perempuan
Jumlah caleg perempuan, misalnya, sejak pemilu secara langsung digelar pada 2004, selalu menunjukkan tren kenaikan, berdasarkan riset Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI).
Pada 2004, capaian persentase keterwakilan caleg perempuan baru 29 persen. Pada 2009, jumlah itu naik jadi 33,6 persen, sebelum naik lagi ke angka 37,6 persen pada 2014. Terakhir, 2019, proporsi itu semakin baik dengan adanya 40 persen perempuan.
Namun, itu bukan berarti kebijakan afirmatif ini telah berhasil sehingga dapat dihapus, sebab tingkat keterpilihan caleg perempuan belum menggembirakan.
Pemilu 2004 hingga 2019 belum berhasil mengirim 30 persen perempuan ke parlemen, melainkan hanya 11,8 persen (2004), 18 persen (2009), 17 persen (2014), dan 20 persen (2019). Hal ini ironis sebab jumlah pemilih perempuan sejak Pemilu 2004 tak pernah kurang dari 49 persen.
Beleid yang sama juga sebelumnya digugat koalisi masyarakat sipil ke Mahkamah Agung (MA) pada 5 Juni 2023. Namun, MA sampai sekarang belum menerbitkan putusannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.