"Yang belum baik tentu harus kita evaluasi dan kita perbaiki. Inilah elemen kesinambungan dalam proses perubahan yang tidak perlu diperdebatkan lagi," sambung AHY.
"Kami menawarkan pendekatan dan kebijakan yang berbeda pada rakyat Indonesia yang kami pandang tepat untuk dijalankan pasca-pemerintahan Presiden Jokowi mendatang," ujar dia.
Baca juga: Soal Rekonsiliasi Hubungan SBY-Megawati, AHY: Tidak Bisa Dipaksakan, Biarkan Mengalir
Alumnus Universitas Teknologi Nanyang (2006) tersebut juga menyoroti konflik kepentingan di dalam pemerintahan, bahwa menteri atau pejabat negara menjalankan bisnis sedangkan yang bersangkutan berada dalam lingkaran pembuatan kebijakan dan regulasi yang terkait langsung dengan bisnis itu.
Keadaan semakin runyam jika bisnis itu berkaitan dengan penggunaan anggaran negara, padahal pejabat tersebut terlibat dalam penyusunan APBN.
"Ini namanya jeruk makan jeruk atau berburu di kebun binatang. Demokrat berpendapat bisnis pejabat model begini harus dicegah dan dihentikan," kata AHY.
Ia juga beranggapan, terdapat tanda-tanda yang menunjukkan kembalinya konsentrasi kekuasaan ke tangan presiden.
Padahal, dalam demokrasi, check and balances antara lembaga-lembaga negara sangat penting untuk mencegah kembalinya otoritarianisme.
Baca juga: Soal Cawapres Anies, AHY: Surprise dari Mana? Sudah Terbaca
Dalam pidato politiknya, pria kelahiran Bandung, Jawa Barat, 44 tahun lalu itu pun menyinggung kembali pernyataan Presiden Joko Widodo yang secara eksplisit ingin ikut campur pada Pemilu 2024.
"Kalau cawe-cawe itu melibatkan instrumen kekuasaan negara dan nilai tidak adil, jelas nasib demokrasi kita dalam bahaya," ucap dia.
Ia menambahkan, salah satu problem utama pemerintahan Jokowi adalah kebebasan berpendapat yang semakin tipis.
Muncul ketakutan untuk bersikap kritis karena khawatir akan datangnya tekanan dari pihak-pihak pro pemerintah.
"Lawan politik penguasa diidentikkan sebagai musuh negara. Netralitas dan independensi kekuasaan negara dipertanyakan," jelas AHY.
AHY juga menunjukkan bagaimana penegakan hukum semakin tebang pilih. Bukan hanya diskriminatif secara kelas sosial/vertikal, tetapi juga horizontal berdasarkan politik perkubuan.
"Tajam ke lawan, tumpul ke kawan. Praktik ini merusak keadilan, etika pemerintahan, dan nilai demokrasi," ucap peraih penghargaan Adhi Makayasa-Tri Sakti Wiratama 2000 itu.
Ia menambahkan, pemerintah semestinya menjamin bahwa penegakan hukum, termasuk pemberantasan korupsi, dilakukan dengan adil.