Böll, yang notabene adalah seorang penulis, dengan berani mengirim surat kepada Hitler agar memberikan persediaan obat pervitin selama masa perang. Obat dengan kandungan sabu tersebut membuat Böll menjadi pecandu.
Beruntungnya, Böll yang menjadi tahanan tentara Amerika Serikat dapat mengaktualisasi dirinya dengan menjadi penulis dan aktivis properdamaian. Böll lepas dari bayang-bayang candu sabu.
Sementara ribuan tentara Nazi tidak dapat begitu saja lepas dari candu sabu walaupun perang telah berakhir.
Bahkan pemimpin Nazi, Adolf Hitler mati dengan nahas karena candu sabu dan obat-obatan opiod lainnya di bunker persembunyiannya. Sabu menjadi senjata makan tuan.
Jutaan pil sabu membuat Jerman digdaya karena pasukannya menjadi manusia super karena kuat perang siang-malam berhari-hari. Invasi pasukan Jerman ke Inggris, Perancis, atau lainnya adalah buah dari pasokan obat stimulan tersebut.
Pasukan Amerika Serikat dan Inggris mengalami persoalan sama, walaupun tidak senahas pasukan Nazi Jerman. Persoalan kecanduan pascaperang tidak berakhir.
Kesadaran pemerintah Jerman, Amerika Serikat ataupun Inggris tampak terlambat untuk mengendalikan dan menekan penyalahgunaan obat jenis sintetik amfetamin tersebut.
Di saat kebutuhan masyarakat terhadap obat-obatan tersebut meningkat dan pasar juga telah terbentuk, peraturan pengetatan tidak menyelesaikan masalah. Penggunaan narkoba sabu dapat diperoleh di pasar gelap.
Bahkan, Amerika Serikat menjadi tujuan pasar gelap produksi Jepang. Perang Dunia II boleh saja dimenangkan sekutu yang dipimpin Amerika Serikat. Namun, produsen narkoba sabu Jepang masih melanjutkan ‘perang’ gelapnya melalui pasar gelap narkoba.
Perang dan narkoba tampak menjadi setali tiga uang. Hingga hari ini, obat-obatan menjadi alat perang di berbagai belahan dunia.
Ada yang menggunakan narkoba sebagai konsumsi pasukannya, ada pula yang menjadi alat menumpuk uang untuk modal perang.
Seperti dilansir oleh berbagai sumber dari BNN dan Polri, narkoba sabu yang ada di Indonesia secara umum berasal dari dua kawasan produsen narkoba, golden triangle, tepatnya Myanmar dan golden crescent, tepatnya Iran. Kedua kawasan tersebut masih dihadapkan pada situasi konflik lokal dan regionalnya.
Berbagai program untuk menghentikan penyalahgunaan obat semakin rumit karena pasar telah terbentuk, sementara dunia semakin tidak memiliki batas migrasi, apalagi batas komunikasi.
Dalam satu sesi forum diskusi yang diselenggarakan oleh UNODC tentang kejahatan di laut beberapa tahun lalu, saya turut menjadi salah satu narasumber di sesi expert panel yang khusus membicarakan tentang penyelundupan narkoba di laut.
Dari penjelasan panelis lain, saya melihat lorong masih tampak gelap untuk mengendalikan penyelundupan narkoba di laut Asia Pasifik, termasuk laut Indonesia yang jalur penyelundupannya membentang dari ujung barat sampai ke ujung timur, baik di sebelah utara ataupun selatan.