AGENDA rutin Rabu pagi saya adalah berlari di area Monas, Jakarta, dengan didampingi seorang konselor adiksi yang konsisten lari sejak sepuluh tahun lalu. Dia adalah mantan pecandu narkoba sejak usia sekolah.
Rutinitas larinya adalah 10 km yang dia lakukan dua atau tiga kali tiap minggunya. Katanya, ketika masih menjadi pecandu, kakinya dulu ‘kurus kering’. Perlahan menjadi normal selepas dari kecanduan dan dibarengi aktivitas olahraga teratur.
Obrolan kami tidak jauh dari ragam cerita para kliennya. Dia menarik kesimpulan di antara kesusahan para klien untuk lepas dari jerat narkoba adalah dampak candunya yang kuat, sementara cara pandang hidupnya juga kacau.
Kekacauan cara pandang yang dimaksud adalah ketidakmampuannya untuk menghadapi masalah atau beban hidup. Narkoba seolah dianggap solusi atas masalahnya. Padahal, itu berdampak sebaliknya.
Cerita bahwa narkoba bukan solusi, apalagi dalam rentang masa panjang, sudah terekam dalam catatan rangkaian kelam Perang Dunia II. Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat adalah korban atas adiksi narkoba yang salah sejak awal.
Bahkan, dari merekalah keberadaan narkoba sabu yang unfaedah itu hingga kini masih eksis di berbagai belahan dunia.
Tak terkecuali negara miskin atau kaya. Narkoba sabu tampak bersaing dengan penyalahgunaan ganja, sama-sama tinggi peminat.
Lazr Edeleanu mungkin menyesali temuannya pada 1887, berupa obat untuk penderita ADHD, amfetamin.
Penemuan kimiawan Rumania tersebut diracik ulang oleh Nagai Nagyoshi, kimiawan Jepang, menjadi sabu atau metamfetamin pada 1893.
Sekitar 20 tahun kemudian, Akira Ogata yang juga ilmuwan Jepang, memperbaiki metode Nagai agar proses pembuatan sabu menjadi lebih sederhana, yaitu hanya dengan mereduksi efedrin menggunakan fosfor merah dan senyawa kimia iodin.
Kalau ditelusuri, kasus-kasus pabrik sabu di Indonesia yang mencuat pada 2000-an, bahan kimia prekursor narkotika seperti efedrin, fosfor merah, atau iodine kerap ditemukan di TKP pabrik narkoba sabu.
Rekan saya, seorang analis jaringan pabrik narkoba sabu di BNN, mengatakan bahwa ketiga jenis bahan kimia tersebut adalah kunci dalam menelusuri keberadaan pabrik narkoba sabu.
Selain ilmuwan Jepang, ahli fisika dan kimia melakuan penemuan ulang pengolahan efedrin tersebut.
Dia adalah Fritz Hauschild yang melakukannya pada 1937, untuk perusahaan farmasi Temmler di Berlin, sebagaimana diulas oleh Ray J. Defalque dan Amos J. Wright di Bulletin of Anesthesia History (2011).
Heinrich Theodor Böll, seorang kritikus prodemokrasi yang kemudian meraih penghargaan Nobel, sesungguhnya adalah peserta aktif perang dunia ke-2. Tidak ada pilihan baginya untuk berperang membela Jerman yang saat itu dikuasi rezim Nazi Hitler.
Böll, yang notabene adalah seorang penulis, dengan berani mengirim surat kepada Hitler agar memberikan persediaan obat pervitin selama masa perang. Obat dengan kandungan sabu tersebut membuat Böll menjadi pecandu.
Beruntungnya, Böll yang menjadi tahanan tentara Amerika Serikat dapat mengaktualisasi dirinya dengan menjadi penulis dan aktivis properdamaian. Böll lepas dari bayang-bayang candu sabu.
Sementara ribuan tentara Nazi tidak dapat begitu saja lepas dari candu sabu walaupun perang telah berakhir.
Bahkan pemimpin Nazi, Adolf Hitler mati dengan nahas karena candu sabu dan obat-obatan opiod lainnya di bunker persembunyiannya. Sabu menjadi senjata makan tuan.
Jutaan pil sabu membuat Jerman digdaya karena pasukannya menjadi manusia super karena kuat perang siang-malam berhari-hari. Invasi pasukan Jerman ke Inggris, Perancis, atau lainnya adalah buah dari pasokan obat stimulan tersebut.
Pasukan Amerika Serikat dan Inggris mengalami persoalan sama, walaupun tidak senahas pasukan Nazi Jerman. Persoalan kecanduan pascaperang tidak berakhir.
Kesadaran pemerintah Jerman, Amerika Serikat ataupun Inggris tampak terlambat untuk mengendalikan dan menekan penyalahgunaan obat jenis sintetik amfetamin tersebut.
Di saat kebutuhan masyarakat terhadap obat-obatan tersebut meningkat dan pasar juga telah terbentuk, peraturan pengetatan tidak menyelesaikan masalah. Penggunaan narkoba sabu dapat diperoleh di pasar gelap.
Bahkan, Amerika Serikat menjadi tujuan pasar gelap produksi Jepang. Perang Dunia II boleh saja dimenangkan sekutu yang dipimpin Amerika Serikat. Namun, produsen narkoba sabu Jepang masih melanjutkan ‘perang’ gelapnya melalui pasar gelap narkoba.
Perang dan narkoba tampak menjadi setali tiga uang. Hingga hari ini, obat-obatan menjadi alat perang di berbagai belahan dunia.
Ada yang menggunakan narkoba sebagai konsumsi pasukannya, ada pula yang menjadi alat menumpuk uang untuk modal perang.
Seperti dilansir oleh berbagai sumber dari BNN dan Polri, narkoba sabu yang ada di Indonesia secara umum berasal dari dua kawasan produsen narkoba, golden triangle, tepatnya Myanmar dan golden crescent, tepatnya Iran. Kedua kawasan tersebut masih dihadapkan pada situasi konflik lokal dan regionalnya.
Berbagai program untuk menghentikan penyalahgunaan obat semakin rumit karena pasar telah terbentuk, sementara dunia semakin tidak memiliki batas migrasi, apalagi batas komunikasi.
Dalam satu sesi forum diskusi yang diselenggarakan oleh UNODC tentang kejahatan di laut beberapa tahun lalu, saya turut menjadi salah satu narasumber di sesi expert panel yang khusus membicarakan tentang penyelundupan narkoba di laut.
Dari penjelasan panelis lain, saya melihat lorong masih tampak gelap untuk mengendalikan penyelundupan narkoba di laut Asia Pasifik, termasuk laut Indonesia yang jalur penyelundupannya membentang dari ujung barat sampai ke ujung timur, baik di sebelah utara ataupun selatan.
Selat Malaka yang menghubungkan Indonesia dengan Malaysia dan Thailand adalah jalur favorit penyelundupan karena letaknya yang dekat dengan kawasan golden triangle.
Kelompok Aceh adalah pemain utama di area tersebut. Kelompok ini juga memiliki sejarah panjang perang melawan pemerintah pusat di era perlawanan Gerakan Aceh Merdeka selama puluhan tahun.
Bayangkan, dampak buruk dari penggunaan narkoba pada masa Perang Dunia II jika ditarik garisnya, maka sampai hari ini masih dirasakan.
Bukan hanya Amerika Serikat atau Eropa yang menjadi pasar mewah beragam jenis narkoba karena harganya yang mahal, negara lain seperti Indonesia juga tidak lepas dampaknya.
Rilis Bea dan Cukai pada awal bulan ini saja, 140.000 butir ekstasi dari Eropa dan Amerika berhasil dicegah.
Ekstasi adalah obat-obatan yang memiliki akar kimia sintetik satu jenis dengan amfetamin dan metamfetamin sehingga digolongkan ke dalam kelompok amphetamine type stimulant. Dua jenis obat yang digunakan di era Perang Dunia II.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.