KOMPAS.com - Sebelum menyandang nama resmi Daerah Khusus Ibukota, Jakarta pernah 13 kali berganti nama sebelum menjadi Jakarta.
Awal mula pusat pemerintahan ada di wilayah Pelabuhan Sunda Kalapa sekitar abad ke-14. Sunda Kalapa sebagai kota pelabuhan berkembang menjadi kota pusat perdagangan hingga ke luar negeri.
Pelabuhan ini berada dalam kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Letaknya di muara sungai Ciliwung. Sedangkan hulu sungai Ciliwung menjadi ibu kota Pajajaran.
Kelimpahan hasil pelabuhan ini memikat pemimpin-pemimpin Portugis yang berpangkal di Malaka untuk menjalin hubungan erat dengan Pajajaran. Pemimpin Portugis kala itu ingin membangun benteng di Sunda Kalapa.
Namun sebelum benteng Portugis didirikan di Sunda Kalapa, pada tahun 1527 kota pelabuhan sudah direbut oleh Fatahillah. Ia merupakan menantu Trenggana, Sultan Demak. Dari sana mulailah peralihan kekuasaan dari lingkungan politik Pajajaran yang Hindu ke Demak yang Islam.
Peralihan kekuasaan dari Pajajaran ke Demak membuat nama pusat pemerintahan berganti menjadi Jayakarta.
Perubahan itu dilatarbelakangi oleh kemenangan pasukan yang dipimpin Fatahillah terhadap Angkatan Laut Portugis di Teluk Jakarta.
Dengan kemenangan itu maka Sunda Kalapa diganti nama menjadi Jayakarta pada tanggal 22 Juni 1527.
Tanggal ini yang kemudian diambil sebagai hari kelahiran atau HUT Jakarta.
Nama Jayakarta kembali berubah menjadi Stad Batavia. Perubahan tersebut didasari oleh kemenangan pihak Belanda yang dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen.
Stad Batavia pertama kali berubah pada tanggal 4 Maret 1621 oleh Belanda.
Jan Pieterszoon Coen kemudian mendirikan bangunan baru (Mauritius Huis) yang dikelilingi tembok dan terpotong-potong oleh parit dengan beberapa meriam.
Delapan tahun setelah terbentuknya Stad Batavia, Batavia sudah meluas tiga kali lipat.
Pada tanggal 1 April 1950 Batavia ditetapkan menjadi sebuah Gemeente Batavia, yaitu sebuah daerah lokal dengan mempunyai keuangan sendiri.
Batas wilayah Gemeente Batavia kira-kira 125 kilometer persegi di luar pulau-pulau yang ada di teluk Batavia.
Pemerintah Kolonial belanda kembali mengubah nama menjadi Stad Gemeente Batavia pada 8 Januari 1935.
Setelah kota Batavia jatuh ketangan Jepang pada tahun 1942, maka dikeluarkan Undang-Undang Nomor 42 tahun 1942 tentang perubahan tata pemerintahan daerah.
Menurut UU tersebut Pulau Jawa dibagi dalam satuan-satuan daerah yang disebut SYUU (Karesidenan). Setiap Syuu dibagi dalam beberapa Ken (Kabupaten) dan Shi (Stadgemeente).
Kepala pemerintahan Jepang atau Gunseikan dapat membentuk Tokubetshu Shi (Stads Gemeente luar biasa).
Jakarta kemudian dijadikan Jakaruta Tokubetsu Shi dipimpin oleh Tokubetsu Shityo dan beberapa orang Zyoyaku (pegawai tinggi) dan masing-masing diangkat oleh Gunseikan.
Ketika proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Jakaruta Tokubetsu Shi diubah menjadi Pemerintahan Nasional Kota Jakarta.
Namun tidak bertahan lama, ketika Belanda kembali berkuasa, kekuasaan Pemerintahan Nasional Kota Jakarta habis. Kekalahan ini ditandai dengan ditangkapnya walikota Jakarta dan beberapa pejabat diusir.
Dalam masa peralihan itu sempat kembali disebut sebagai Stad Gemeente Batavia pada 20 Februari 1950.
Kemudian pada 24 Maret 1950, nama Stad Gemeentar Batavia berubah menjadi Kota Praja Jakarta.
Baca juga: Jatuhnya Batavia ke Tangan Jepang
Berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 ten-tang pokok-pokok pemerintahan Daerah dikenal 2 macam Kota Otonom, yaitu kotapraja Jakarta Raya yang berstatus daerah tingkat 1 dan Kotapraja yang berstatus tingkat II.
Realisasinya pada tanggal 15 Januari 1960 ditetapkannya Kotapraja Jakarta Raya sebagai daerah tingkat I dengan kepala daerahnya seorang Gubernur.
Berdasarkan ketetapan Presiden Nomor 2 tahun 1961 yang kemudian menjadi Undang-Undang dibentuklah menjadi Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya.
UU Nomor 10 tahun 1964 menyatakan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya tetap menjadi ibu kota Negara Republik Indoneia dengan nama Jakarta pada 31 Agustus 1964.
Pada tanggal 24 Juli 1975 terjadi pembulatan wilayah Jakarta atas Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat, akarta Selatan dan Jakarta Timur. Lima wilayah saat itu terbagi atas 30 wilayah Kecamatan dan 236 wilayah Kelurahan.
Pada akhirnya menurut UU Nomor 34 tahun 1999 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta mengatur perubahan nama sebutan pemerintah daerah berubah menjadi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Perubahan ini juga mengatur otonominya tetap berada di tingkat provinsi dan bukan pada wilayah kota. Selain itu, wilayah DKI Jakarta dibagi menjadi enam yakni lima wilayah kotamadya dan satu kabupaten administratif Kepulauan Seribu.
Referensi: