Meminjam tiga terminologi religiusitas itu, menurut penulis di ranah religious belonging, publik yang menyatakan sebagai warga NU atau terafiliasi dengan NU, tidak serta merta tunduk pada hirarki struktural organisasi, meski NU berkarakter tradisional, yang memiliki pola patron-client, dengan doktrin sami’na wa athona (petunjuk kiai, adalah titah untuk jama’ah).
Namun kiai NU lebih bersifat terlokalisir, mereka tersebar dari kiai di pesantren besar hingga ustadz di surau kecil, melebar juga dari kiai, Habib dan syech di majelis akbar hingga ustadz, ustazah yang mengisi pengajian ibu-ibu.
Hal ini menyebabkan pemilih NU bersifat terbuka, tidak tunggal dan cenderung menyebar. Ibarat perusahaan yang telah IPO, saham NU terpecah ke banyak pemegang saham.
Maka menyatukan suara NU, untuk satu cawapres, seperti upaya cawe-cawe Sekjend PBNU Gus Ipul yang meng-endorse salah satu cawapres, adalah upaya super besar yang tidak hanya berkeringat jagung karena letih, namun berkeringat darah untuk menyatukan seluruh entitas Nahdliyin.
Pilpres 2004 adalah pelajaran, di mana dua tokoh Cawapres yang disebut "Si Paling NU", yakni KH. Hazyim Muzadi yang merupakan Ketua PBNU, dan KH Salahudin Wahid yang merupakan cucu pendiri NU, dikalahkan Cawapres Jusuf Kalla yang juga warga Nahdliyin namun disebut bukan "Si Paling NU".
Luasnya ruang temu warga dalam wadah Nahdlatul Ulama itu, lebih karena NU mengakomodasi luasnya spektrum tradisi pemikiran Islam (religious believing) dan tradisi kebudayaan dalam Islam Indonesia, tradisi fiqih Syafi’iyah NU sesuai dengan mahzab mayoritas Muslim Indonesia, ditambah NU juga mengakomodasi tiga mahzab mainstream lainnya.
Untuk tradisi sufisme NU yang berakar pada tradisi al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi ditambah mistisisme Islam lainnya juga cocok dengan tradisi mayoritas publik kita.
Singkat kata, NU menghimpun ruang temu warga Muslim Indonesia karena kesamaan itu. Sedangkan dalam kandidasi tidak ada pakem calon tunggal siapa capres-cawapres yang paling NU, apalagi warga NU melihat cawapres hanya dijadikan vote getter, atau sekadar stempel organisasi, yang teraktualisasi saat pemilu saja.
Pada ranah religious behaving tradisi ritual, pandangan dan perilaku warga NU, sangat kuat sehingga pilihan kandidasi yang bertolak belakang dengan perilaku keagamaan warga NU seperti ketaatan ibadah, tutur bahasa dan sikap atas isu berkaitan pengamalan nilai-nilai agama, seperti toleransi atas LGBT, pandangan terhadap sex bebas, jejak perilaku korupsi, dan perilaku lainnya, dapat menjadi penghalang bulat lonjongnya pilihan warga NU.
NU boleh jadi powerful. Namun kekuatannya itu, bisa tidak relevan dalam politik elektoral, dikarenakan organisasi dengan pendukung super besar seperti NU, punya konsekuensi lahirnya barisan para petarung yang juga super besar.
Maka ketimbang mengeleminasi dan mengerucutkan calon tunggal sebagai "Si Paling NU", lebih bijak NU melengkapi segenap warganya, dengan piranti nilai untuk memperteguh komitmen kebangsaan.
Dan untuk para kandidat apakah capres atau cawapres yang akan berlaga pada pilpres 2024, mungkin saja pesan pimpinan para Avengers Nick Furry dapat menginspirasi: “Perang tidak dimenangkan dengan perasaan, tapi dimenangkan oleh prajurit.”
Itu intinya, perang tidak dimenangkan dengan perasaan, apalagi perasaan "Si Paling NU".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.