Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indonesian Insight Kompas
Kelindan arsip, data, analisis, dan peristiwa

Arsip Kompas berkelindan dengan olah data, analisis, dan atau peristiwa kenyataan hari ini membangun sebuah cerita. Masa lalu dan masa kini tak pernah benar-benar terputus. Ikhtiar Kompas.com menyongsong masa depan berbekal catatan hingga hari ini, termasuk dari kekayaan Arsip Kompas.

"Buaya Keroncong" Jadi Presiden, Cara Guntur Soekarno Bercerita tentang Demokratisnya Indonesia

Kompas.com - 15/06/2023, 07:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

LEWAT tulisan opini di harian Kompas edisi Kamis (15/6/2023) berjudul "Buaya Keroncong" Jadi Presiden, Guntur Soekarno bertutur tentang demokratisnya Indonesia. 

"... janganlah heran, senang atau tidak senang, kita harus menerima kenyataan bahwa di Indonesia seorang 'buaya keroncong' dapat menjadi presiden," tulis Guntur menjelang pengujung tulisannya.

Putra sulung proklamator dan Presiden pertama Indonesia ini mengawali tulisannya dengan bercerita tentang sosok-sosok orang biasa yang belakangan menjadi figur penting di negaranya bahkan tokoh bangsanya.

Misal, dia bercerita tentang Temujin dari Mongolia yang semula adalah penggembala ternak. Belakangan dia dikenal sebagai Genghis Khan, pendiri Mongolia.

Lalu, dia pun bertutur tentang sosok Alexander yang Agung. Dikenal juga dengan nama Iskandar Zulkarnain, sosok ini awalnya cuma orang miskin yang dipandang sebelah mata oleh orang berstrata sosial atas. Namun, namanya abadi hingga kini dengan kekuasaan yang menjangkau dua per tiga dunia pada masanya.

Ada sederet nama lain diceritakan juga oleh Guntur sebagai tokoh-tokoh penting yang semula cuma orang biasa itu, bahkan ada yang dia sebut berlatar belakang tercela. Nama generasi terkini yang turut dia sebutkan di dalamnya adalah sosok Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, yang salah satu pekerjaan sebelumnya adalah badut panggung. 

Tangkap layar artikel opini Guntur Soekarno, Buaya Keroncong Jadi Presiden, di harian Kompas edisi Kamis (15/6/2023).ARSIP KOMPAS Tangkap layar artikel opini Guntur Soekarno, Buaya Keroncong Jadi Presiden, di harian Kompas edisi Kamis (15/6/2023).

Barulah perlahan sesudah itu, alur cerita Guntur bergeser ke sosok bapaknya, Soekarno. "Buaya keroncong" yang menjadi bagian judul dan disebut di pengujung tulisannya adalah sebutan Guntur bagi bapaknya dalam kisahnya ini.

Bercerita tentang Soekarno, Guntur memulainya tentang lelaki bernama Kusno Sosrodihardjo yang sejak muda tergila-gila pada musik keroncong. Dia sebutkan pula nama-nama penyanyi keroncong yang jadi favorit pemuda Kusno. Kegemarannya yang lain adalah menonton wayang kulit.

Pemuda inilah yang di kemudian hari dikenal sebagai Soekarno. Jalan politik yang ditempuhnya lewat Partai Nasional Indonesia (PNI) tak serta merta menghapus kegemarannya pada keroncong dan wayang kulit. Saat dibuang ke Ende pun, Soekarno sempat membawa piringan hitam salah satu penyanyi keroncong favoritnya.

Kegemarannya pada keroncong, tutur Guntur, tak surut bahkan setelah Soekarno mengatasi perpecahan PNI, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, memboyong ibu kota ke Yogyakarta, mengembalikan pusat kekuasaan ke Jakarta, dan masa-masa sesudah itu. 

Dari cerita panjang tentang sosok-sosok penting dunia yang berlanjut ke kisah Soekarno dalam perspektif kepribadian berkebudayaan, Guntur menggarisbawahi bahwa di Indonesia ini teramat mungkin sosok yang semula dianggap biasa justru yang akhirnya menjadi pemimpin dan atau tokoh bangsa.

"Begitu demokratisnya Indonesia dengan Pancasila-nya, di mana seorang 'buaya keroncong' dapat menjadi Indonesia 1 di pemerintahan," ujar dia di akhir tulisan. 

Sinyal apakah yang tengah dilontarkan kakak Presiden kelima Indonesia, Megawati Soekarnoputri, ini melalui tulisan opini di hari-hari menjelang hajatan pesta demokrasi?

Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI

Catatan:

Tulisan lengkap opini Guntur Soekarno yang dikutip di sini dapat diakses publik melalui layanan epaper harian Kompas selama 30 hari ke depan sejak tanggal terbit atau di arsip harian Kompas melalui layanan Kompas Data mulai satu hari setelah tanggal terbit.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Nasional
Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Nasional
Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Rp 37 Miliar karena Kabulkan PK Eks Terpidana Megapungli di Pelabuhan Samarinda

Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Rp 37 Miliar karena Kabulkan PK Eks Terpidana Megapungli di Pelabuhan Samarinda

Nasional
Ditanya soal Ikut Dorong Pertemuan Megawati-Prabowo, Jokowi Tersenyum lalu Tertawa

Ditanya soal Ikut Dorong Pertemuan Megawati-Prabowo, Jokowi Tersenyum lalu Tertawa

Nasional
Berhaji Tanpa Visa Haji, Risikonya Dilarang Masuk Arab Saudi Selama 10 Tahun

Berhaji Tanpa Visa Haji, Risikonya Dilarang Masuk Arab Saudi Selama 10 Tahun

Nasional
Kuota Haji Terpenuhi, Kemenag Minta Masyarakat Tak Tertipu Tawaran Visa Non-haji

Kuota Haji Terpenuhi, Kemenag Minta Masyarakat Tak Tertipu Tawaran Visa Non-haji

Nasional
Sengketa Pileg, Hakim MK Sindir MU Kalah Telak dari Crystal Palace

Sengketa Pileg, Hakim MK Sindir MU Kalah Telak dari Crystal Palace

Nasional
Wakil Ketua MK Sindir Nasdem-PAN Berselisih di Pilpres, Rebutan Kursi di Pileg

Wakil Ketua MK Sindir Nasdem-PAN Berselisih di Pilpres, Rebutan Kursi di Pileg

Nasional
PDI-P Berada di Dalam atau Luar Pemerintahan, Semua Pihak Harus Saling Menghormati

PDI-P Berada di Dalam atau Luar Pemerintahan, Semua Pihak Harus Saling Menghormati

Nasional
Dua Kali Absen, Gus Muhdlor Akhirnya Penuhi Panggilan KPK

Dua Kali Absen, Gus Muhdlor Akhirnya Penuhi Panggilan KPK

Nasional
Ganjar Tegaskan Tak Gabung Pemerintahan Prabowo, Hasto: Cermin Sikap PDI-P

Ganjar Tegaskan Tak Gabung Pemerintahan Prabowo, Hasto: Cermin Sikap PDI-P

Nasional
Kelakuan SYL Minta Dibayarkan Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta, Bawahan Kebingungan

Kelakuan SYL Minta Dibayarkan Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta, Bawahan Kebingungan

Nasional
Gibran Siap Berlabuh ke Partai Politik, Golkar Disebut Paling Berpeluang

Gibran Siap Berlabuh ke Partai Politik, Golkar Disebut Paling Berpeluang

Nasional
PPDS Berbasis Rumah Sakit, Jurus Pemerintah Percepat Produksi Dokter Spesialis

PPDS Berbasis Rumah Sakit, Jurus Pemerintah Percepat Produksi Dokter Spesialis

Nasional
Polisi dari 4 Negara Kerja Sama demi Tangkap Gembong Narkoba Fredy Pratama

Polisi dari 4 Negara Kerja Sama demi Tangkap Gembong Narkoba Fredy Pratama

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com