LEWAT tulisan opini di harian Kompas edisi Kamis (15/6/2023) berjudul "Buaya Keroncong" Jadi Presiden, Guntur Soekarno bertutur tentang demokratisnya Indonesia.
"... janganlah heran, senang atau tidak senang, kita harus menerima kenyataan bahwa di Indonesia seorang 'buaya keroncong' dapat menjadi presiden," tulis Guntur menjelang pengujung tulisannya.
Putra sulung proklamator dan Presiden pertama Indonesia ini mengawali tulisannya dengan bercerita tentang sosok-sosok orang biasa yang belakangan menjadi figur penting di negaranya bahkan tokoh bangsanya.
Misal, dia bercerita tentang Temujin dari Mongolia yang semula adalah penggembala ternak. Belakangan dia dikenal sebagai Genghis Khan, pendiri Mongolia.
Lalu, dia pun bertutur tentang sosok Alexander yang Agung. Dikenal juga dengan nama Iskandar Zulkarnain, sosok ini awalnya cuma orang miskin yang dipandang sebelah mata oleh orang berstrata sosial atas. Namun, namanya abadi hingga kini dengan kekuasaan yang menjangkau dua per tiga dunia pada masanya.
Ada sederet nama lain diceritakan juga oleh Guntur sebagai tokoh-tokoh penting yang semula cuma orang biasa itu, bahkan ada yang dia sebut berlatar belakang tercela. Nama generasi terkini yang turut dia sebutkan di dalamnya adalah sosok Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, yang salah satu pekerjaan sebelumnya adalah badut panggung.
Barulah perlahan sesudah itu, alur cerita Guntur bergeser ke sosok bapaknya, Soekarno. "Buaya keroncong" yang menjadi bagian judul dan disebut di pengujung tulisannya adalah sebutan Guntur bagi bapaknya dalam kisahnya ini.
Bercerita tentang Soekarno, Guntur memulainya tentang lelaki bernama Kusno Sosrodihardjo yang sejak muda tergila-gila pada musik keroncong. Dia sebutkan pula nama-nama penyanyi keroncong yang jadi favorit pemuda Kusno. Kegemarannya yang lain adalah menonton wayang kulit.
Pemuda inilah yang di kemudian hari dikenal sebagai Soekarno. Jalan politik yang ditempuhnya lewat Partai Nasional Indonesia (PNI) tak serta merta menghapus kegemarannya pada keroncong dan wayang kulit. Saat dibuang ke Ende pun, Soekarno sempat membawa piringan hitam salah satu penyanyi keroncong favoritnya.
Kegemarannya pada keroncong, tutur Guntur, tak surut bahkan setelah Soekarno mengatasi perpecahan PNI, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, memboyong ibu kota ke Yogyakarta, mengembalikan pusat kekuasaan ke Jakarta, dan masa-masa sesudah itu.
Dari cerita panjang tentang sosok-sosok penting dunia yang berlanjut ke kisah Soekarno dalam perspektif kepribadian berkebudayaan, Guntur menggarisbawahi bahwa di Indonesia ini teramat mungkin sosok yang semula dianggap biasa justru yang akhirnya menjadi pemimpin dan atau tokoh bangsa.
"Begitu demokratisnya Indonesia dengan Pancasila-nya, di mana seorang 'buaya keroncong' dapat menjadi Indonesia 1 di pemerintahan," ujar dia di akhir tulisan.
Sinyal apakah yang tengah dilontarkan kakak Presiden kelima Indonesia, Megawati Soekarnoputri, ini melalui tulisan opini di hari-hari menjelang hajatan pesta demokrasi?
Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI
Catatan:
Tulisan lengkap opini Guntur Soekarno yang dikutip di sini dapat diakses publik melalui layanan epaper harian Kompas selama 30 hari ke depan sejak tanggal terbit atau di arsip harian Kompas melalui layanan Kompas Data mulai satu hari setelah tanggal terbit.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.