Sementara dalam sistem proporsional tertutup, nama caleg tidak ditampilkan di kertas suara namun hanya menampilkan lambang partai yang keterpilihannya ditentukan oleh internal partai politik.
Persoalannya, sejak sistem pemilu dilaksanakan terbuka, paradigma kandidat dan masyarakat dalam melihat Pemilu lebih transaksional.
Politik uang jelang pemilihan seolah menjadi hal lumrah di mana marak terjadi seorang caleg melalui broker politiknya membagi-bagikan uang atau sembako jelang pemilihan.
Teknisnya baik secara langsung memberikan uang/sembako atau melalui kupon untuk mengambil hadiah yang dijanjikan oleh caleg demi keterpilihannya.
Ini pula yang menjadi alasan ada istilah NPWP, yaitu “Nomer Piro, Wani Piro” (nomor berapa, berani berapa) yang populer jelang pemilihan.
Hal ini jelas menunjukkan bahaya laten telah terjadi dalam demokrasi Indonesia dengan pemikiran yang sangat transaksional.
Selain itu, ada banyak kasus oknum anggota legislatif yang keterpilihannya bukan berdasarkan kapasitas dan pengetahuan yang ia miliki, tapi karena sebatas dirinya populer.
Dampaknya ketika ia meraih jabatan di parlemen, oknum anggota legislatif tersebut tidak mampu secara maksimal menjalankan tugasnya karena kurangnya pemahaman dalam penyusunan anggaran, pengawasan, pembuatan undang-undang dan fungsi perwakilan di DPR/DPRD.
Salah satu keuntungan utama dari sistem Pemilu proporsional tertutup dilaksanakan di Indonesia adalah penguatan identitas kepartaian (Party-ID).
Di mana setiap partai politik di Indonesia dituntut untuk melakukan kaderisasi secara intens, berjenjang dan fokus dalam membentuk karakter kader partai yang akan didistribusikan untuk dicalonkan menjadi anggota legislatif.
Sehingga fungsi partai politik utamanya terkait pendidikan politik bisa dijalankan dengan konsekuensi yang positif terkait kapasitas dan kapabilitas kader partai yang memiliki pengetahuan luas sebelum dilantik menjadi pejabat publik.
Selain itu, pragmatisme partai politik yang selama ini terjadi dalam menetapkan caleg atas pertimbangan popularitas dan uang bisa diminimalkan dengan pertimbangan teknis masyarakat memberikan kepercayaannya pada partai, bukan oknum individu.
Apalagi partai politik merupakan rahim yang melahirkan presiden, anggota DPR/DPRD dan kepala daerah sehingga memperkuat posisi partai politik dalam demokrasi di Indonesia adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar lagi.
Selain itu setidaknya terdapat 3 (tiga) dampak krusial dari Sistem pemilihan proporsional tertutup bagi demokrasi di Indonesia, yaitu :
Pertama, cita-cita keterwakilan perempuan 30 persen di Parlemen sejak disahkan Undang-Undang 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD bisa diwujudkan.