Merasakan ketakutan yang sama dengan Han, Mei dan adiknya pun meninggalkan Jakarta. Keduanya menuju ke Singapura, menyusul orang tua yang sudah lebih dulu berada di sana.
"Para perusuh tetap saja tidak mau bersahabat. Daripada keselamatan jiwa terancam, lebih baik tinggalkan Jakarta menuju Singapura," kata adik Mei kala itu.
Baca juga: Kritik untuk Penyelesaian Kasus HAM Berat 1998 Tanpa Pengadilan
Dilaporkan Kompas masih dari Bandara Hang Nadim Batam, 20 Mei 1998, tiga anak terlihat sedang menunggu orangtuanya mengurus bagasi. Kepada Kompas, seorang anak perempuan yang beranjak remaja mengatakan, sejumlah sekolah di Jakarta diliburkan karena aksi kerusuhan.
“Tapi sekolah kami tidak libur. Jadi, kami ambil libur sendiri, ikut papa dan mama ke Singapura," katanya.
Di antara rombongan pendatang, terdapat sekeluarga delapan orang dari Surabaya. Keluarga tersebut ikut meninggalkan Indonesia karena khawatir situasi yang sama bakal terjadi di wilayah mereka.
"Kondisi Surabaya memang belum separah Jakarta, tapi kami ketakutan karena kami tinggal di kawasan pinggiran," kata salah seorang dari rombongan itu.
Pada saat yang sama, pemandangan memelas terlihat pada sejumlah orang berusia lanjut. Salah seorang kakek berusia 70-an sambil memandang ke lantai terminal bergegas menuju mobil jemputan yang akan membawanya ke sebuah hotel di kawasan Nongsa Batam.
Beberapa nenek yang tampak sakit terpaksa menggunakan kursi roda menuju mobil jemputan.
Beberapa jam sebelumnya, menurut petugas bandara, seorang artis Ibu Kota yang akrab dengan elite pemerintahan juga ikut menyeberang ke Singapura.
“Kami baru mengantarnya dari bandara ke terminal Sekupang tadi sore," ujar seorang petugas.
Baca juga: Tangis Pilu Karsiyah, Ibunda Hendriawan Korban Tragedi Trisakti 1998: Dia Janji Akan Pulang...
Kerusuhan Jakarta Mei 1998 bukan tiba-tiba saja terjadi. Kekacauan itu dipicu oleh krisis finansial Asia yang terjadi sejak tahun 1997.
Akibat krisis yang berkepanjangan terdebut mahasiswa melakukan aksi demonstrasi besar-besaran menuntut reformasi.
Mahasiswa dari berbagai kampus menentang pemerintahan Orde Baru dan menuntut Presiden Soeharto mundur. Sebabnya, pemerintahan Orde Baru dinilai melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) hingga menyeret negara ke pusaran krisis moneter.
Namun, demonstrasi justru berujung tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti karena penembakan oleh aparat. Peristiwa ini kian memicu amarah publik sehingga kerusuhan pecah di berbagai titik di Ibu Kota Negara.
Baca juga: Dalang Kasus Munir, Kerusuhan Bawaslu 2019, dan Kerusuhan Mei 1998
Kerusuhan melebar hingga terjadi aksi perusakan, penjarahan, dan pembakaran oleh perusuh. Massa menyasar pusat perbelanjaan, pertokoan, perkantoran, perbankan, hingga fasilitas publik.
Sebagian objek sasaran aksi massa merupakan kepunyaan etnis Tionghoa.
Suasana kian mencekam karena terjadi aksi pemerkosaan terhadap puluhan perempuan yang sebagian adalah keturunan Tionghoa. Pemerkosaan sebagian besar terjadi di Jakarta dan sisanya di Palembang, Medan, Solo, dan Surabaya.
Mencekamnya situasi tersebut akhirnya memaksa sebagian penduduknya, terutama keturunan Tionghoa, bergegas mengungsi.
Puncak dari peristiwa ini, Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya pada 21 Mei 1998. Ini menandai akhir rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.