JAKARTA, KOMPAS.com - Markas Besar TNI tengah menggodok rencana perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI Laksda Kresno Buntoro telah memaparkan rencana revisi UU TNI itu kepada Panglima TNI Laksamana Yudo Margono di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, pada 28 April 2023.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Laksamana Muda (Laksda) Julius Widjojono mengatakan bahwa draf revisi itu masih bersifat sementara dan baru dibahas di internal Mabes.
Artinya, rencana perubahan itu baru sebatas usulan yang belum disampaikan kepada Kementerian Pertahanan (Kemenhan) yang nantinya akan diteruskan ke DPR.
“Paparan itu baru konsep internal, belum di-approved Panglima TNI,” kata Julius saat dihubungi, Selasa (9/5/2023) petang.
Dalam rencana perubahan itu, prajurit diusulkan bisa menduduki jabatan sipil lebih banyak.
Berdasarkan UU saat ini, prajurit TNI bisa menduduki jabatan sipil di 8 kementerian/lembaga.
Adapun kementerian yang dimaksud Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Kementerian Pertahanan, Sekretariat Militer Presiden, Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan, Badan Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
Sementara di dalam usulan baru, wewenang untuk menduduki jabatan sipil diperluas ke Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Staf Kepresidenan, BNPT, BNPB, Badan Nasional Pengamanan Perbatasan, Bakamla, Kejaksaan Agung, dan kementerian atau lembaga yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai kebijakan presiden.
Menanggapi hal ini, Kapuspen TNI mengatakan bahwa banyak prajurit TNI aktif yang memiliki wawasan mengenai kepentingan nasional serta keahlian yang dibutuhkan oleh kementerian atau lembaga.
“Tentunya prajurit TNI aktif yang masuk kementerian atau lembaga adalah mereka yang memang punya keahlian yang dibutuhkan. Jadi, tidak sekadar memasukan prajurit aktif TNI ke jabatan-jabatan sipil,” tutur Julius.
Di sisi lain, lanjut Julius, spektrum ancaman saat ini juga tidak lagi militer, tetapi juga banyak yang nirmiliter.
“Prajurit TNI sejak awal dilatih untuk cepat tanggap dan memiliki kedisiplinan organisasi yang baik. Kita lihat saja dalam penanganan Covid-19 yang lalu, peran para prajurit TNI aktif sangat signifikan bagi bangsa Indonesia menanggulangi Covid-19,” kata Julius.
Julius mengklaim bahwa tidak banyak yang baru di dalam usulan perubahan UU TNI.
“Pasal 47 poin 2 itu sebenarnya juga untuk mengakomodasi berbagai praktik yang sudah dilakukan selama ini seperti kehadiran TNI di BNPB, BNPT, Bakamla, dan BNPP. Pasalnya, waktu UU TNI dibuat, badan-badan ini belum ada,” kata Julius.
Dalam usulan perubahan UU itu, tugas pokok TNI juga diusulkan bertambah.
Misalnya di dalam Pasal 7 ditambahkan bahwa TNI bisa “mengatasi aksi terorisme,” “mendukung pemerintah menanggulangi ancaman siber,” dan “mendukung pemerintah dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika, prekursor dan zak adiktif lain.”
Pasal 53 juga diubah, prajurit yang memiliki kemampuan, kompetensi, dan keahlian khusus, usia pensiunnya diperpanjang hingga 60 tahun. Sebelumnya usia pensiun hanya sampai 58 tahun.
Baca juga: Usulan Revisi UU TNI: Prajurit Bisa Tempati Jabatan Sipil Lebih Banyak
Dalam draf revisi UU TNI, narasi “pengerahan dan penggunaan kekuatan militer berkedudukan di bawah presiden” diganti menjadi “TNI merupakan alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara berkedudukan di bawah presiden”.
Direktur Imparsial Gufron Mabruri mengatakan bahwa aturan pengerahan dan penggunaan kekuatan militer di bawah arahan presiden tidak boleh dihapus.
“Klausul pengerahan dan penggunaan kekuatan militer di UU TNI sebelumnya dihapus. Klausul itu mestinya tetap ada,” kata Gufron saat dihubungi, Rabu (10/5/2023).
Menurut Gufron, klausul itu untuk memperkuat Undang-Undang tentang Pertahanan Negara.
“Kalau usulan perubahan itu diadopsi, Mabes TNI akan bilang, 'di UU TNI enggak ada ketentuan pengerahan kekuatan TNI harus presiden yang mengotorisasi'. Sementara UU ini aturan hukum organik mereka,” ujar Gufron.
Baca juga: Bertentangan dengan UU TNI, MA Didesak Batalkan Penjaga dari Militer
Dalam hal anggaran, Pasal 66 juga diubah. Sebelumnya, keperluan anggaran TNI diajukan oleh Kementerian Pertahanan. Namun kemudian diubah menjadi “keperluan anggaran diajukan ke Kementerian Keuangan berkoordinasi degan Kementerian Pertahanan.”
Menurutnya, anggaran TNI ke depan berpotensi tidak lagi diajukan melalui Kemenhan.
“Dalam hal pemenuhan dukungan anggaran TNI, Panglima mengajukan kepada Menteri Keuangan dibiayai seluruhnya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,” tulis draft perubahan UU.
Wacana revisi UU TNI ini bukan kali pertama muncul. Pada Januari 2019 atau tiga bulan menjelang pemilihan umum, wacana serupa pernah muncul.
Berdasarkan paparan Babinkum TNI yang diterima Kompas.com, pada 9 Januari 2019, Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan bersurat kepada Presiden Joko Widodo terkait penambahan prajurit yang bisa duduki jabatan sipil lebih banyak.
Baca juga: Jokowi Sebut Belum Mendesak, Koalisi Sipil Desak Agenda Revisi UU TNI Disetop
Saat itu, dalam Pasal 47 ayat 2, diusulkan prajurit TNI bisa menduduki jabatan di Kemenko Marves, Staf Kepresidenan, BNPT, BNPB, BNPP, dan Bakamla.
Ketua Centra Initiative Al Araf menyebutkan, perluasan jabatan-jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif membuka ruang kembalinya doktrin Dwifungsi ABRI seperti yang dipraktikan pada rezim Orde Baru.
Araf mengatakan bahwa doktrin Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru membuat militer terlibat dalam politik praktis, yang salah satunya dengan menduduki jabatan sipil di kementerian, lembaga, DPR, hingga kepala daerah.
Dengan demikian, Araf menyebutkan, upaya perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif dalam draf revisi UU TNI dapat membuka ruang baru bagi TNI untuk berpolitik.
Baca juga: Luhut Ingin Revisi UU TNI agar Perwira Aktif Jabat di Kementerian, YLBHI: Gejala Rezim Orba Kembali
"Hal ini tentunya menjadi kemunduran jalannya reformasi dan proses demokrasi tahun 1998 di Indonesia yang telah menempatkan militer sebagai alat pertahanan negara," kata Araf dalam siaran pers, Selasa (9/5/2023).
Araf menyatakan bahwa fungsi dan tugas utama militer pada dasarnya sebagai alat pertahanan negara. Hal ini sebagaimana yang dianut oleh negara demokrasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.