JAKARTA, KOMPAS.com - Upaya Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengubah aturan teknis penghitungan keterwakilan 30 persen caleg perempuan berujung blunder. Sejumlah perempuan senior, baik itu dari kalangan penyelenggara pemilu, akademisi hingga politisi turun gunung menyambangi Kantor Bawaslu, Senin (8/5/2023), untuk memprotes aturan ini
Mereka di antaranya eks komisioner KPU dan DKPP RI Ida Budiati, eks komisioner Bawaslu RI Wahidah Suaib, eks Ketua Kaukus Perempuan Parlemen Kanti Janis dan anggota Kaukus Perempuan Politik Indonesia yang juga politikus Gerindra, Rahayu Saraswati.
Mereka membentuk Koalisi Peduli Keterwakilan Perempuan dan mendatangi Bawaslu RI, meminta supaya Bawaslu RI segera terbitkan rekomendasi untuk merevisi aturan itu.
Beberapa perempuan dari kalangan akademisi, seperti Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Hurriyah, dan anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, juga ada dalam barisan.
Baca juga: Bawaslu, DKPP, KPU Segera Bahas Opsi Revisi Aturan yang Kurangi Caleg Perempuan
"Menuntut pemulihan hak politik perempuan berkompetisi pada Pemilu 2024 dengan melaporkan ke DKPP dan juga melakukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA)," ucap perwakilan Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan Valentina Sagala dalam jumpa pers, Senin (8/5/2023).
Ketentuan yang dipersoalkan mereka termaktub di dalam Pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Di dalam ketentuan itu, KPU mengatur pembulatan ke bawah jika perhitungan 30 persen keterwakilan perempuan menghasilkan angka desimal kurang dari koma lima.
Misalnya, jika di suatu dapil terdapat 8 caleg, maka jumlah 30 persen keterwakilan perempuannya adalah 2,4.
Karena angka di belakang desimal kurang dari 5, maka berlaku pembulatan ke bawah. Akibatnya, keterwakilan perempuan dari total 8 caleg di dapil itu cukup hanya 2 orang dan itu dianggap sudah memenuhi syarat.
Baca juga: Aktivis Ancam Gugat PKPU yang Turunkan Kuota Caleg Perempuan ke MA
Padahal, 2 dari 8 caleg setara 25 persen saja, yang artinya belum memenuhi ambang minimum keterwakilan perempuan 30 persen sebagaimana dipersyaratkan Pasal 245 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Valentina pun menganggap bahwa ketentuan baru ini telah mematikan upaya peningkatan keterwakilan perempuan dalam pencalonan DPR dan DPRD. Padahal, sejak kebijakan afirmatif keterwakilan perempuan dimulai pada 2003, jumlah caleg perempuan yang mendaftar terdongkrak.
Sebagai gambaran, keterwakilan caleg perempuan pada 2004 baru 29 persen. Lalu naik menjadi 33,6 persen pada 2009 dan naik kembali menjadi 37,6 persen pada 2014.
Terakhir, proporsi itu kembali naik pada Pemilu 2019 menjadi 40 persen.
Kenaikan tersebut bukan berarti kebijakan yang sudah ada sebelumnya telah dianggap sukses. Sebabnya, tingkat keterpilihan perempuan belum menggembirakan.
Sejak 2004 hingga 2019, jumlah perempuan yang duduk di Senayan belum mencapai 30 peprsen. Rinciannya, 11,8 persen pada 2004, 18 persen pada 2009, 17 persen pada 2014 dan 20 persen pada 2019.
Baca juga: Rawan Sengketa, KPU Didesak Segera Revisi Aturan yang Bisa Kurangi Caleg Perempuan