KONTESTASI politik di Indonesia akan digelar tahun 2024. Sejumlah partai politik bahkan telah berkoalisi dan memunculkan nama calon pemimpin mereka untuk digadang-gadang sebagai pemimpin ‘ideal’ Indonesia di masa depan.
Berbagai upaya dan strategi sudah mulai dilakukan untuk meraih simpati publik demi memenangkan kekuasaan di pertarungan panggung politik nasional.
Mereka saling berlomba-lomba membangun citra diri yang positif untuk mengimpresi publik dengan menampilkan sisi terbaik aktor-aktor politik di berbagai media massa, baik di media arus utama seperti TV dan radio, maupun media berbasis internet atau daring seperti media sosial.
Oleh karena itu, hingga 2024 mendatang, berbagai media massa, khususnya media sosial bisa dipastikan akan dipenuhi dengan beragam kampanye politik lengkap dengan segala bentuk pencitraan aktor-aktor politiknya.
Hal ini tentunya akan memberikan respons yang beragam. Di satu sisi publik mungkin akan dibuat bingung karena aktor-aktor politik tersebut akan secara terus-menerus menampilkan sisi positif mereka, namun di sisi lain ini juga bisa menjadi rujukan untuk menentukan pilihan politik dari citra diri yang mereka tampilkan.
Untuk memahami hal ini, konsep dramatugi milik sosiolog asal Kanada, Erving Goffman, dapat digunakan untuk mencermati citra atau presentasi diri yang dibangun oleh para aktor politik tersebut.
Sebelum membahas ini lebih lanjut, coba perhatikan potongan lagu berjudul Panggung Sandiwara milik musisi kawakan Indonesia Achmad Albar.
Dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah
Kisah Mahabrata atau tragedi dari Yunani
Setiap kita dapat satu peranan yang harus kita mainkan
Ada peran wajar dan ada peran berpura-pura
Mengapa kita bersandiwara?
Mengapa kita bersandiwara?
Petikan lagu di atas bisa digunakan untuk memahami konsep dramaturgi. Goffman menganalogikan dunia sosial seperti layaknya sebuah ‘panggung sandiwara’ yang mengharuskan manusia memainkan berbagai peran yang tidak tunggal dalam kehidupan sehari-hari.
Goffman dalam bukunya The Presentation of Everyday Life (1959) mendefinisikan dramaturgi sebagai sandiwara kehidupan yang mengharuskan manusia memainkan peran dengan menampilkan sisi depan (front stage) dan sisi belakang (backstage).
Dalam hal ini, manusia memiliki banyak versi diri dan perannya dalam suatu relasi sosial bersifat sangat cair (fluid) tergantung pada kepentingan yang ingin dicapai.
Sederhananya, konsep ini bisa digunakan untuk melihat bagaimana individu menampilkan diri dalam interaksi sosial sehari-hari karena apa yang ditampilkan di hadapan khalayak belum tentu sama dengan apa yang tampilkan di ruang dan relasi sosial yang lain.
Misalnya, seorang laki-laki yang memiliki profesi sebagai seorang manager harus tampil tegas dan profesional di hadapan karyawannya. Namun ia akan melepaskan atribut dan kualitas tersebut ketika ia berada di rumah bersama istri dan anak-anaknya.
Di lingkungan kerja pun demikian. Relasi profesional antara atasan dan bawahan juga bisa dipahami dengan konsep ini. Misalnya seorang pegawai mungkin akan selalu bersikap baik terhadap atasannya meski ia sedang merasa kesal.
Hal ini dikarenakan dalam segala bentuk relasi sosial manusia akan menggunakan ‘topeng’ yang berbeda-beda sesuai dengan kepentingannya masing-masing dan manusia juga memiliki kendali untuk menampilkan dan menyembunyikan yang ia inginkan.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.