Semenjak mempelopori riset tentang perdamaian, John Galtung, membagi perdamaian atas dua, yaitu perdamaian negatif dan perdamaian positif.
Kedamaian negatif hanya menunjukkan ketiadaan perang dan kekerasan. Kedamaian jenis ini tidak menangkap kecenderungan masyarakat menuju stabilitas dan harmoni.
Sedangkan kedamaian positif didefinisikan sebagai kondisi damai jangka panjang yang dibangun di atas investasi berkelanjutan dalam pembangunan dan institusi ekonomi serta sikap masyarakat yang mendorong perdamaian.
Kedamaian jenis ini dapat digunakan untuk mengukur ketahanan suatu masyarakat, atau kemampuannya untuk menyerap guncangan tanpa jatuh atau kembali ke dalam konflik.
Perdamaian positif menentang apa yang dikenal sebagai 'struktur dan budaya kekerasan' yang dapat menyebabkan orang berperilaku kasar, atau memaksakan kekerasan pada orang lain.
Biasanya, kekerasan struktural mengabaikan kebutuhan dan hak seperti kesejahteraan ekonomi; kesetaraan sosial, politik, dan seksual; pemenuhan pribadi dan harga diri; dan seterusnya. Kemiskinan, represi politik dan keterasingan psikologis.
Contoh, ketika pemerintah menetapkan rencana untuk membangun pabrik, akan ada kemungkinan bahwa efek samping yang tersembunyi dapat terjadi.
Untuk warga negara yang tidak mau mendukung pemerintah karena dia percaya bahwa tidak akan ada manfaat dari rencana ini dapat memprotes, atau bahkan menyabotase proyek.
Ketika situasi semakin parah, penggunaan kekerasan fisik sering digunakan. Media biasanya membesar-besarkan peristiwa berdasarkan kekerasan fisik yang dilakukan oleh warga negara atau dilakukan oleh pemerintah.
Dengan begitu, warga mulai merasa tidak aman pada saat itu. Kedamaian pun hilang lenyap.
Jadi, perdamaian positif, akan tercapai apabila kita berhasil mengubah struktur dan budaya kekerasan yang melekat pada bagian terdalam dari lembaga budaya, sosial dan ekonomi.
Sekjen PBB mengatakan, tahun 2023 dan pada masa depan, warga dunia membutuhkan kedamaian, lebih daripada masa sebelumnya. Untuk menciptakan damai satu sama lain, seluruh bangsa di dunia perlu terlibat secara aktif.
Bukan untuk menyombongkan diri, bangsa Indonesia sudah terlibat jauh sebelum ajakan itu disuarakan. Sejak awal kemerdekaannya, Indonesia selalu berinisiatif mengadakan dialog untuk mengakhiri konflik di berbagai belahan dunia.
Contoh, pada 1957, Indonesia ikut dalam Misi Pemeliharaan Perdamaian PBB. Saat itu Indonesia mengirimkan 559 personel infanteri sebagai bagian dari United Nations Emergency Force (UNEF) di Sinai.
Pengiriman tersebut diikuti dengan kontribusi 1.074 personel infanteri (1960) dan 3.457 personal infantri (1962), sebagai bagian dari United Nations Operation in the Congo (ONUC) di Republik Kongo.