DALAM ‘Pesan Tahun 2023’ yang dipublikasi pada 31 Desember 2022, Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres antara lain mengatakan bahwa pada tahun 2022, jutaan orang di seluruh dunia benar-benar hidup dalam ketakutan dan kelaparan.
Dari Ukraina, ke Afghanistan hingga Republik Demokratik Kongo dan sekitarnya, orang-orang meninggalkan reruntuhan rumah dan kehidupan mereka untuk mencari sesuatu yang lebih baik.
Di seluruh dunia, lebih dari seratus juta orang mengungsi, melarikan diri dari perang, kebakaran hutan, kekeringan, kemiskinan, dan kelaparan.
Pada suatu kesempatan yang lain Guterres mengatakan, sepanjang sejarahnya, PBB telah mengatasi konflik dan perpecahan yang tampaknya sulit diselesaikan.
Menurut dia, masyarakat dunia harus menemukan jalan ke depan dan bertindak sekarang, seperti yang telah kita lakukan sebelumnya, untuk menghentikan kemerosotan menuju kekacauan dan konflik yang lebih parah lagi.
Sudah waktunya bangsa-bangsa di dunia memperdalam kerja sama dan memperkuat lembaga multilateral, untuk menemukan solusi menghadapi tantangan bersama (Bdk. www.un.org/sg/en).
Kondisi kehidupan masyarakat dunia yang runyam menuntut bangsa Indonesia untuk ikut mencarikan solusinya. Sejatinya, terdapat beberapa alasan mengapa Indonesia mesti terlibat dalam mewujudkan perdamaian dunia.
Melansir berbagai sumber, bangsa Indonesia harus terlibat dalam upaya mewujudkan perdamaian dunia karena perdamaian dunia adalah cita-cita kemerdekaan dan tujuan politik luar negeri Indonesia.
Hal ini jelas termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat yang berbunyi sebagai berikut: Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; Memajukan kesejahteraan umum; Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan Melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Selain itu, bangsa Indonesia memiliki filosofi dan pandangan hidup sekaligus dasar negara yang disebut Pancasila.
Dikaitkan dengan visi dan ideologi kebangsaan serta nilai-nilai yang ada dalam Pancasila, bangsa Indonesia wajib berkomitmen untuk berkontribusi besar dalam mewujudkan tata dunia yang lebih baik.
Sebagai bangsa dan negara, kita memang memiliki kapasitas untuk ikut serta mewujudkan perdamaian dunia.
Pengalaman empirik bangsa Indonesia pada masa lampau yang menginisiasi perjuangan kemerdekaan negara-negara dunia ketiga di Asia dan Afrika, serta kontribusi dalam membangun regionalisme yang tangguh di Asia Tenggara, menjadi modal kuat.
Secara sosial-budaya bangsa Indonesia mewarisi nilai-nilai yang menjadi indikator perdamaian, yaitu cinta kasih kepada orang lain; menerima perbedaan; ramah tamah dan menghormati orang lain; bersikap dan berlaku adil; mematuhi aturan; toleran; kerjasama; dan menghindari konflik.
Sumber dari nilai-nilai luhur tersebut ada dalam Kitab Suci seperti Al-Qur’an, Injil, Weda dan lain-lain; Konstitusi; Norma Adat dan Budaya; dan Kearifan Lokal.
Dari aspek kearifan lokal, Indonesia memiliki potensi luar biasa dasyat untuk ikut memajukan perdamaian dunia. Ratusan suku bangsa dan budaya di kawasan Nusantara ini memiliki kearifan lokal yang dapat memperkuat kehidupan yang rukun dan damai.
Sebagai misal, ungkapan perdamaian dalam masyarakat jawa, yaitu “Gemah ripah loh jinawi” merupakan ungkapan dalam bahasa yang memiliki arti perjuangan masyarakat sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang bercita-cita menciptakan perdamaian atau ketenteraman, kesuburan, kemakmuran, keadilan, mulia abad, dan tata raharja.
Dalam masyarakat Sulawesi Utara (Sulut) juga memiliki kearifan lokal sebagai kekuatan bagi terciptanya kehidupan yang damai. Kearifan lokal itu ditandaskan oleh pahlawan Sam Ratulangi dengan ungkapan Si Tou Timou Tumo Tou, yang berarti manusia dilahirkan untuk memanusiakan manusia lain.
Si Tou Timou Tumou Tou memiliki nilai utama yang mencerminkan cinta kegembiraan, kedamaian, kesabaran, kemurahan hati, kebaikan, kesetiaan, kelembutan, dan pengendalian diri.
Selain itu masyarakat Sulut memiliki slogan, “Torang semua basudara” (kita semua saudara). Slogan tersebut mendorong warga untuk saling mencintai satu sama lain.
Jadi, komitmen dalam keterlibatan untuk mewujudkan perdamaian dunia, termasuk membebaskan bangsa-bangsa terjajah sudah sesuatu keharusan moral dan ‘panggilan budaya’ bagi bangsa Indonesia.
Dalam buku “Handbook of Peace and Conlict Studies” (2007), Charles Webel dan Johan Galtung menggambarkan secara nyata mengenai hakikat perdamaian.
Mereka mengatakan, “Mungkin 'perdamaian' itu seperti 'kebahagiaan', 'keadilan', 'kesehatan' dan cita-cita manusia lainnya, sesuatu yang diklaim diinginkan dan dipuja oleh setiap orang dan budaya, tetapi hanya sedikit yang dapat dicapai, setidaknya secara bertahan lama.”
Mereka mempertanyakan, mengapa kedamaian, keadilan, dan kebahagiaan begitu diinginkan, tetapi juga begitu tidak berwujud dan sulit dipahami?
Namun, mereka juga menduga bahwa mungkin kedamaian berbeda dari kebahagiaan, karena tampaknya membutuhkan keharmonisan sosial dan pemberian hak politik. Sedangkan kebahagiaan tampaknya, setidaknya dalam budaya Barat, sebagian besar merupakan masalah individu.
Alternatifnya, kata mereka, mungkin kedamaian memang menyerupai kebahagiaan individu – selalu ada, tersirat dalam susunan psikologis kita dan kadang-kadang eksplisit dalam perilaku sosial dan norma budaya kita.
Kedamaian adalah prasyarat untuk kesejahteraan emosional kita, tetapi keadaan pikiran yang damai tunduk pada gangguan kognitif dan letusan agresif.
Perdamaian adalah kunci utama dari keharmonisan sosial, pemerataan ekonomi dan keadilan politik, tetapi perdamaian juga terus-menerus dirusak oleh perang dan bentuk konflik kekerasan lainnya.
“Seperti kebahagiaan, kedamaian tetap begitu dekat, tetapi seperti cinta abadi, kedamaian selalu sulit dijangkau sejauh ini.”
Hakikat perdamaian meliputi kebebasan berkonflik, keamanan dan ketertiban, norma dan hukum, kebebasan dari kecemasan dan emosional gangguan, kekacauan dan kekerasan, serta saling menghormati dan hidup dalam harmoni.
Semenjak mempelopori riset tentang perdamaian, John Galtung, membagi perdamaian atas dua, yaitu perdamaian negatif dan perdamaian positif.
Kedamaian negatif hanya menunjukkan ketiadaan perang dan kekerasan. Kedamaian jenis ini tidak menangkap kecenderungan masyarakat menuju stabilitas dan harmoni.
Sedangkan kedamaian positif didefinisikan sebagai kondisi damai jangka panjang yang dibangun di atas investasi berkelanjutan dalam pembangunan dan institusi ekonomi serta sikap masyarakat yang mendorong perdamaian.
Kedamaian jenis ini dapat digunakan untuk mengukur ketahanan suatu masyarakat, atau kemampuannya untuk menyerap guncangan tanpa jatuh atau kembali ke dalam konflik.
Perdamaian positif menentang apa yang dikenal sebagai 'struktur dan budaya kekerasan' yang dapat menyebabkan orang berperilaku kasar, atau memaksakan kekerasan pada orang lain.
Biasanya, kekerasan struktural mengabaikan kebutuhan dan hak seperti kesejahteraan ekonomi; kesetaraan sosial, politik, dan seksual; pemenuhan pribadi dan harga diri; dan seterusnya. Kemiskinan, represi politik dan keterasingan psikologis.
Contoh, ketika pemerintah menetapkan rencana untuk membangun pabrik, akan ada kemungkinan bahwa efek samping yang tersembunyi dapat terjadi.
Untuk warga negara yang tidak mau mendukung pemerintah karena dia percaya bahwa tidak akan ada manfaat dari rencana ini dapat memprotes, atau bahkan menyabotase proyek.
Ketika situasi semakin parah, penggunaan kekerasan fisik sering digunakan. Media biasanya membesar-besarkan peristiwa berdasarkan kekerasan fisik yang dilakukan oleh warga negara atau dilakukan oleh pemerintah.
Dengan begitu, warga mulai merasa tidak aman pada saat itu. Kedamaian pun hilang lenyap.
Jadi, perdamaian positif, akan tercapai apabila kita berhasil mengubah struktur dan budaya kekerasan yang melekat pada bagian terdalam dari lembaga budaya, sosial dan ekonomi.
Sekjen PBB mengatakan, tahun 2023 dan pada masa depan, warga dunia membutuhkan kedamaian, lebih daripada masa sebelumnya. Untuk menciptakan damai satu sama lain, seluruh bangsa di dunia perlu terlibat secara aktif.
Bukan untuk menyombongkan diri, bangsa Indonesia sudah terlibat jauh sebelum ajakan itu disuarakan. Sejak awal kemerdekaannya, Indonesia selalu berinisiatif mengadakan dialog untuk mengakhiri konflik di berbagai belahan dunia.
Contoh, pada 1957, Indonesia ikut dalam Misi Pemeliharaan Perdamaian PBB. Saat itu Indonesia mengirimkan 559 personel infanteri sebagai bagian dari United Nations Emergency Force (UNEF) di Sinai.
Pengiriman tersebut diikuti dengan kontribusi 1.074 personel infanteri (1960) dan 3.457 personal infantri (1962), sebagai bagian dari United Nations Operation in the Congo (ONUC) di Republik Kongo.
Tidak hanya itu, Indonesia juga sudah terbiasa membangun hubungan damai dan harmonis dengan alam dan iklim demi kelestarian dunia secara berkelanjutan.
Bangsa Indonesia selalu mengupayakan damai di jalanan dan di komunitas dengan perlindungan penuh atas semua hak asasi manusia. Indonesia terus berupaya membangun damai di tempat ibadah, dengan menghormati keyakinan masing-masing.
Indonesia juga berjuang untuk menciptakan perdamaian online, supaya dunia maya bebas dari ujaran kebencian dan pelecehan.
Jadi, mulai tahun 2023 dan seterusnya, mari kita sebagai bangsa yang ramah-tamah dan bermartabat berjuang menjadikan kedamaian sebagai inti dari perkataan dan tindakan kita.
Bersama-sama, mari kita menjadikan tahun 2023 sebagai tahun di mana perdamaian dipulihkan dalam hidup kita, rumah kita, komunitas kita, negara kita, dan dunia kita sehingga pesta demokrasi dapat berjalan lancar dan menghasilkan out put yang menyejahterahkan dan berkontribusi terhadap perdamaian dunia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.