Kisah mudik, seringkali menjadi “dramatis”, karena perlu melalui sejumlah perjuangan tertentu, seperti harus bermacet-macet, berdesak-desakan, mengumpulkan uang berbulan-bulan, membeli harga tiket yang biasanya melambung jauh dari harga normal, menyiapkan perbekalan dan lain sebagainya.
Sehingga setiap kisah mudik, dapat memiliki rangkaian kisah yang berbeda bagi setiap keluarga. Setiap perjuangan ini, juga selalu menyiratkan amanah bagi pengelola negara untuk tidak berpuas diri dalam upaya peningkatan pelayanannya.
Pada masyarakat kelas menengah ke atas, persoalan biaya untuk kebutuhan moda transportasi menuju kampung halaman, tentu tidak terlalu masalah. Baik itu menggunakan kendaraan pribadi, moda transportasi publik darat, laut ataupun udara.
Namun demikian, bagi yang berpenghasilan pas-pasan, tentunya hal ini menjadi persoalan tersendiri, apalagi biasanya terjadi penyesuaian harga/tiket dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Maka jadilah kejadian mudik ini menjadi sebuah aksi yang “luar biasa”, karena membutuhkan persiapan dan perbekalan yang “luas biasa” pula.
Sejumlah kalangan bahkan rela membuka tabungan khusus demi dapat melakukan aksi mudik ataupun pulang ke keluarga ini.
Sungguh inilah kegiatan yang sulit dapat terbiayai oleh anggaran yang ‘normal’, sehingga beragam ‘kerja keras khusus’ dilakukan untuk dapat memenuhinya.
Namun demikian secara umum, jika dicermati lebih dalam, mudik bukan hanya sekadar perjuangan bertemu dengan orangtua dan keluarga besar, namun jauh lebih dari itu. Ini adalah momentum bertemunya hati dengan hati, perasaan dan perasaan.
Ibu Pertiwi, memiliki tradisi unik yang telah mendarah daging pada sebagaian besar anggota masyarakat, yaitu mudik atau pulang kampung. Tradisi ini seakan telah begitu melekat erat, sehingga ‘apapun’ rela dilakukan.
Fakta ini mudah terobservasi dengan melihat kondisi lalu lintas, jumlah penumpang transportasi publik dan lain-lain.
Mengapa hal ini begitu ‘diperjuangkan?” Padahal teknologi informasi hari ini telah memungkinkan antarindividu dan bahkan antarkelompok melakukan “kontak virtual”?
Tradisi dan kekuatan ‘mudik’ tidak begitu saja dapat tergantikan oleh "pertemuan virtual”, bahkan mungkin oleh “metaverse” sekalipun.
Inilah “madness of multiverse” (meminjam istilah film yang sedang tren saat ini) yang sebenarnya. Inilah fakta sosial di mana individu selalu punya keinginan untuk kembali ke tanah kelahirannya.
Serta, inilah fakta bahwa setinggi apapun kesuksesan anak, ia tidak boleh lupa kepada orangtua yang melahirkan, merawat dan membesarkannya.
Individu dan keluarga, berjuang untuk dapat bertemu dengan anggota keluarga lainnya, istri dengan suami, anak dengan orangtua, kakek dengan cucu, anak dengan mertua, sepupu dan sepupu, keponakan dengan paman/bibi dan sebaliknya dan sebagainya.