Akil Mochtar yang pada saat itu menjabat Ketua MK menerima suap dalam penyelesaian perkara sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
OTT terhadap Ketua MK bak tsunami yang mengguncang negara dan semakin membuat buram wajah penegakan hukum di Indonesia.
Untuk mengisi kekosongan jabatan Ketua MK pasca-OTT Akil Mochtar, dilakukan pemilihan Ketua MK dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang diselenggarakan pada Selasa, 1 Oktober 2013, dan Hamdan Zoelva terpilih sebagai Ketua MK yang baru.
Mengingat sebelumnya Hamdan Zoelva menjabat sebagai Wakil Ketua MK, maka dalam RPH pada hari itu juga dilakukan pemilihan Wakil Ketua MK. Arief Hidayat terpilih sebagai Wakil Ketua MK. Pimpinan baru MK ini mengucapkan sumpah pada Rabu, 6 November 2013.
Pada 12 November 2013, MK dan Komisi Yudisial bersepakat akan membentuk Tim Pembuat Peraturan untuk membentuk Majelis Kehormatan Hakim Mahkamah Konstitusi (MKHMK) yang bersifat permanen sebagaimana ditentukan dalam Perppu No. 1 Tahun 2013.
Sehubungan dengan terbitnya Putusan MK maka pembentukan MKHMK yang bersifat permanen tidak jadi dilakukan.
Pascaterbitnya Putusan MK No. 1-2/PUU-XII/2014 yang membatalkan UU No.4 Tahun 2014 tersebut, pada 19 Maret 2014 MK mengumumkan mulai bekerjanya Dewan Etik, yang pembentukannya disepakati dalam RPH tanggal 6 Oktober 2013, dan ditetapkan dengan Keputusan Ketua MK No. 4 Tahun 2014 tanggal 8 Maret 2014.
Dewan Etik yang bekerja berdasarkan Peraturan MK No. 2 Tahun 2014 tersebut bertugas sebagai penjaga dan pengawas Hakim Konstitusi.
Sementara itu terbitnya Perppu No. 1 Tahun 2013 telah menuai pro dan kontra. Kalangan yang pro menyatakan bahwa Perppu tersebut merupakan upaya Presiden atau pemerintah untuk memulihkan MK yang terpuruk pasca-OTT Akil Mochtar.
Sementara kalangan yang kontra menyatakan bahwa setelah terbitnya Putusan MK tersebut maka dalam melakukan rekrutmen Hakim Konstitusi (baik persyaratan maupun prosedur rekrutmennya) kembali menggunakan aturan yang terdapat dalam UUD NRI Tahun 1945 (Pasal 24C ayat (3), (5) dan (6)), UUKK (Pasal 33-Pasal 35), dan UUMK (Pasal 15 dan Pasal 18-Pasal 20).
Mengenai pengawasan terhadap Hakim Konstitusi untuk selanjutnya menggunakan ketentuan yang terdapat dalam UUMK (Pasal 27A) dan Peraturan MK No. 2 Tahun 2014.
Sesuai dengan Keputusan Ketua MK No. 3 Tahun 2014, Dewan Etik Periode 2013-2016 ini terdiri dari Abdul Mukhtie Fajar (unsur mantan Hakim Konstitusi), Muchammad Zaidun (unsur akademisi), dan Hatta Mustafa (unsur Tokoh Masyarakat).
Citra buruk MK kembali tercoreng ketika Hakim konstitusi Guntur Hamzah dianggap melanggar etik.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi menjatukan sanksi teguran tertulis, karena Guntur terbukti mencoret frasa ”Dengan demikian” dan mengubahnya menjadi ”Ke depan” sehingga mengakibatkan putusan tersebut mengalami perubahan makna.
Namun, putusan itu dinilai publik jauh dari harapan. Bagaimana pun, Hakim Guntur terbukti melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapla Kasa Hutema, dalam hal ini bagian dari penerapan prinsip Integritas.