SALAH satu masalah besar yang dihadapi Mahkamah Konstitusi untuk eksis sebagai penjaga konstitusi dan produk reformasi adalah besarnya tantangan yang dihadapi dalam tubuhnya sendiri.
Ketika hasil amandemen UUD 1945 telah menempatkan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penjaga tegaknya konstitusi (the guardian of the constitution), maka kedudukannya berada dalam bingkai UUD 1945.
Hal itu berarti MK menjadi salah satu lembaga utama yang menjadi ciri hakiki dari konstitusi reformasi dan pembeda dari UUD sebelum amandemen.
Makna pentingnya, tanpa Mahkamah Konstitusi, UUD 1945 pascaamandemen rentan terhadap distorsi implementasi maupun pergeseran politik ketatanegaraan yang dapat menghilangkan eksistensinya sebagai norma dasar (grundnorm) tertinggi dalam negara yang direformasi (reformed state).
Ketika awal berdiri di bawah Prof Jimly Asshidiqie, Mahkamah Konstitusi telah berupaya membangun struktur kelembagaan untuk melaksanakan amandemen UUD 1945 pascaamandemen sebagai pengawal konstitusi.
MK mampu mengawal konstitusi pascaamandemen sebagai suatu forma formarum, yaitu UUD 1945 pascaamandemen menjadi keseluruhan bangunan organisasi dan bangunan hukum negara yang direformasi.
Babak berikutnya di bawah Prof Mahfud MD, MK berhasil menegaskan UUD 1945 pascaamandemen menjadi apa yang disebut Rosenfeld dan Andras Sajo (2012:2) sebagai the living constitution, yaitu kesatuan kaidah atau norma hidup dalam masyarakat melalui putusan-putusan yang merefleksikan keadilan sosial.
Ada cukup banyak putusan MK yang dianggap mampu memadukan sisi keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.
Ada Putusan MK Nomor 6/PUU-VIII/2010 yang mampu mengatasi secara bijak perselisihan mengenai legalitas masa jabatan Jaksa Agung RI.
Ada lagi Putusan MK Nomor 117/PUU-VII/2009 dalam pengujian UU Nomor 27 Tahun 2009 yang telah menyetarakan hak konstitusional DPD dalam pengisian pimpinan MPR.
Selain itu, jangan dilupakan putusan MK yang membatalkan berlakunya UU BHP yang sarat komersialisasi pendidikan.
Secara umum publik berkesimpulan, putusan-putusan MK telah mampu mengusung keadilan, bercorak konstitusionalitas, dan kemanfaatan.
Putusan-putusan MK telah melampaui diskursus praktis perselisihan konstitusionalistas produk hukum undang-undang atau sengketa Pilkada.
Terpenting MK telah meletakkan “putusannya” di atas nilai keadilan konstitusional yang meneguhkan UUD 1945 pascaamandemen sebagai suatu normarum atau norma hukum tertinggi.
Setelah berjalan on the track, bencana MK muncul ketika Ketua MK Akil Mochtar terkena OTT oleh KPK pada 2 Oktober 2013.
Akil Mochtar yang pada saat itu menjabat Ketua MK menerima suap dalam penyelesaian perkara sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
OTT terhadap Ketua MK bak tsunami yang mengguncang negara dan semakin membuat buram wajah penegakan hukum di Indonesia.
Untuk mengisi kekosongan jabatan Ketua MK pasca-OTT Akil Mochtar, dilakukan pemilihan Ketua MK dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang diselenggarakan pada Selasa, 1 Oktober 2013, dan Hamdan Zoelva terpilih sebagai Ketua MK yang baru.
Mengingat sebelumnya Hamdan Zoelva menjabat sebagai Wakil Ketua MK, maka dalam RPH pada hari itu juga dilakukan pemilihan Wakil Ketua MK. Arief Hidayat terpilih sebagai Wakil Ketua MK. Pimpinan baru MK ini mengucapkan sumpah pada Rabu, 6 November 2013.
Pada 12 November 2013, MK dan Komisi Yudisial bersepakat akan membentuk Tim Pembuat Peraturan untuk membentuk Majelis Kehormatan Hakim Mahkamah Konstitusi (MKHMK) yang bersifat permanen sebagaimana ditentukan dalam Perppu No. 1 Tahun 2013.
Sehubungan dengan terbitnya Putusan MK maka pembentukan MKHMK yang bersifat permanen tidak jadi dilakukan.
Pascaterbitnya Putusan MK No. 1-2/PUU-XII/2014 yang membatalkan UU No.4 Tahun 2014 tersebut, pada 19 Maret 2014 MK mengumumkan mulai bekerjanya Dewan Etik, yang pembentukannya disepakati dalam RPH tanggal 6 Oktober 2013, dan ditetapkan dengan Keputusan Ketua MK No. 4 Tahun 2014 tanggal 8 Maret 2014.
Dewan Etik yang bekerja berdasarkan Peraturan MK No. 2 Tahun 2014 tersebut bertugas sebagai penjaga dan pengawas Hakim Konstitusi.
Sementara itu terbitnya Perppu No. 1 Tahun 2013 telah menuai pro dan kontra. Kalangan yang pro menyatakan bahwa Perppu tersebut merupakan upaya Presiden atau pemerintah untuk memulihkan MK yang terpuruk pasca-OTT Akil Mochtar.
Sementara kalangan yang kontra menyatakan bahwa setelah terbitnya Putusan MK tersebut maka dalam melakukan rekrutmen Hakim Konstitusi (baik persyaratan maupun prosedur rekrutmennya) kembali menggunakan aturan yang terdapat dalam UUD NRI Tahun 1945 (Pasal 24C ayat (3), (5) dan (6)), UUKK (Pasal 33-Pasal 35), dan UUMK (Pasal 15 dan Pasal 18-Pasal 20).
Mengenai pengawasan terhadap Hakim Konstitusi untuk selanjutnya menggunakan ketentuan yang terdapat dalam UUMK (Pasal 27A) dan Peraturan MK No. 2 Tahun 2014.
Sesuai dengan Keputusan Ketua MK No. 3 Tahun 2014, Dewan Etik Periode 2013-2016 ini terdiri dari Abdul Mukhtie Fajar (unsur mantan Hakim Konstitusi), Muchammad Zaidun (unsur akademisi), dan Hatta Mustafa (unsur Tokoh Masyarakat).
Citra buruk MK kembali tercoreng ketika Hakim konstitusi Guntur Hamzah dianggap melanggar etik.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi menjatukan sanksi teguran tertulis, karena Guntur terbukti mencoret frasa ”Dengan demikian” dan mengubahnya menjadi ”Ke depan” sehingga mengakibatkan putusan tersebut mengalami perubahan makna.
Namun, putusan itu dinilai publik jauh dari harapan. Bagaimana pun, Hakim Guntur terbukti melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapla Kasa Hutema, dalam hal ini bagian dari penerapan prinsip Integritas.
Sanksi ringan yang diberikan Majelis Kehormatan, menurut Koalisi Masyarakat Sipil Penyelamat Kemerdekaan Peradilan (Koalisi), akan membuat semakin hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap efektivitas dari penegakan etik di MK.
Seharusnya sanksi yang tepat adalah pemecatan secara tidak hormat seperti yang dijatuhkan kepada mantan Ketua MK Akil Mochtar dan mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.
Tatkala berbicara tentang musuh, maka siapapun menganggap bahwa sesuatu yang membahayakan datang dari luar dirinya. Musuh yang dimaksudkan itu adalah apa saja yang menjadikan dirinya celaka, merugi, mati, atau binasa.
Padahal jika pengertian musuh digambarkan seperti itu, sebenarnya bisa juga datang dari dirinya sendiri. Banyak hal dalam diri seseorang justru menjadi sumber petaka dan kehancuran.
Kebodohan, kemalasan, dan perilaku buruk akan menjadikan diri seseorang lemah, dan akibatnya tidak bisa bertahan hidup atau mati.
Oleh karena itu, sebenarnya yang mengancam diri seseorang bukan selalu berasal dari luar, melainkan dari dalam dirinya sendiri. Bahkan ancaman atau musuh yang berasal dari dalam diri sendiri itu jauh lebih berbahaya dibanding yang berasal dari luar.
Demikian juga yang dialami oleh Mahkamah Konstitusi. Selama ini nampak jelas integritas lembaga MK rusak justru oleh dalam diri (hakim-hakim) MK itu sendiri.
Dari beberapa kejadian yang dialami oleh MK tak heran jika, MK mengalami krisis kepercayaan dari publik.
Hakim MK yang syarat umumnya mengacu Pasal 24C ayat (5) UUD 1945 adalah “Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara”, dalam kenyataannya telah menjadi virus yang menggerogoti dirinya sendiri.
Tampaknya para hakim MK harus mengingat ulang kata-kata filsuf Inggris, John Start Mill (1806-1873), bahwa penegak keadilan haruslah jiwa-jiwa terbaik suatu bangsa.
Dalam konteks ini etika adalah hal paling mendasar yang harus tertanam dalam jiwa para hakim itu sebagai mengemban amanah lembaga peradilan.
Sayangnya, di negeri ini, elite termasuk hakim bisa menjadi predator, bahkan bagi rakyatnya sendiri. Atas dasar itu, maka sebagai wakil Tuhan selayaknya bagi elite dan hakim yang tidak terpuji itu disingkirkan jauh-jauh.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.