Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Survei Litbang "Kompas": Publik Setuju Kekayaan Penyelenggara Negara yang Tidak Wajar Dirampas Negara

Kompas.com - 10/04/2023, 09:54 WIB
Ardito Ramadhan,
Dani Prabowo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Jajak pendapat yang diselenggarakan Litbang Kompas pada awal April 2023 menunjukkan bahwa mayoritas publik setuju bahwa negara berhak merampas aset penyelenggara negara yang tidak wajar dan berasal dari sumber yang tidak sah.

"Hasil jajak pendapat juga merekam 78,5 persen responden sepakat negara berhak melakukan perampasan aset penyelenggara negara jika aset tersebut tidak sesuai dengan harta kekayaan yang dilaporkan," tulis Litbang Kompas, dikutip dari Kompas.id, Senin (10/4/2023).

"Termasuk apabila pejabat publik tidak dapat membuktikan penghasilan tersebut berasal dari sumber yang sah," tulis Litbang Kompas lagi.

Baca juga: Survei Litbang Kompas: RUU Perampasan Aset Mendesak untuk Dibahas dan Diundangkan

Sementara itu, hanya ada 15,2 persen responden yang tidak setuju, sedangkan 6,3 persen responden menjawab tidak tahu.

Menurut Litbang Kompas, opini publik ini selaras dengan semangat yang termuat dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana.

Seperti diketahui, RUU tersebut memiliki substansi utama yakni aset yang diperoleh pejabat negara dari pendapatan yang tidak wajar, serta tidak dapat dibuktikan diperoleh secara sah dan diduga terkait aset tindak pidana, dapat dirampas untuk negara.

Survei yang sama juga menangkap bahwa mayoritas publik menilai RUU Perampasan Aset mendesak untuk segera dibahas dan diundangkan.

Baca juga: Masyarakat Diajak Duduki DPR jika RUU Perampasan Aset Mandek

Berdasarkan survei ini, sebanyak 82,2 persen responden menilai RUU Perampasan Aset mendesak untuk dibahas dan diundangkan, bahkan 35,5 persen responden menganggapnya sangat mendesak.

Hanya ada 12,1 persen dan 1,5 persen responden yang menilai RUU Perampasan aset tidak mendesak dan sangat tidak mendesak untuk disahkan.

Litbang Kompas menyebutkan, opini itu muncul sama kuatnya dari tiap lapisan masyarakat, bahkan publik yang punya preferensi politik berbeda juga menyampaikan desakan yang sama.

"Artinya, persoalan perampasan aset pada pelaku perampok uang negara ini menjadi kegelisahan di berbagai lapisan masyarakat," tulis Litbang Kompas.

Baca juga: Jokowi Diyakini Didukung Rakyat buat Dorong RUU Perampasan Aset ke DPR

Mayoritas publik (87,9 persen) pun memandang bahwa salah satu alasan maraknya korupsi di Indonesia disebabkan oleh masih lemahnya untuk memiskinkan pelaku korupsi.

Selaras dengan itu, sebanyak 8,6 persen dan 52,7 persen publik sangat yakin dan yakin bahwa RUU Perampasan Aset akan menjadi hukum yang kuat untuk memberi efek jera pelaku korupsi.

"Jadi, mempercepat proses pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana menjadi undang-undang adalah sebuah jawaban dari harapan publik," tulis Litbang Kompas.

Survei ini diselenggarakan pada 4-6 April dengan melakukan wawancara terhadap 506 responden dari 34 provinsi yang sampelnya ditentukan secara acak sesuai proporsi jumlah penduduk di tiap provinsi.

Baca juga: Draf RUU Perampasan Aset Belum Jelas, Keluhan Mahfud MD Dianggap Gimik

Menggunakan metode ini, pada tingkat kepercayaan 95 persen, margin of error penelitian ini -/+ 4,36 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana.

Untuk diketahui, Presiden Joko Widodo sudah bolak-balik menyatakan bahwa RUU Perampasan Aset perlu segera dituntaskan dalam rangka mempermudah pemberantasan korupsi.

Akan tetapi, saat ini RUU Perampasan Aset Tindak Pidana masih dalam tahap penyelesaian draf dan naskah akademik. Hingga akhir pekan lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum menerima surat presiden terkait RUU ini.

Surat presiden tersebut belum bisa dikirim karena Menteri Keuangan, Jaksa Agung, dan Kepala Polri belum memberikan persetujuan terhadap draf regulasi tersebut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Respons Istana Soal Jokowi Tak Diundang ke Rakernas PDI-P: Presiden Selalu Menghormati

Respons Istana Soal Jokowi Tak Diundang ke Rakernas PDI-P: Presiden Selalu Menghormati

Nasional
GASPOL! Hari Ini: Prabowo Ajak PKS atau PDI-P ke Dalam Koalisi?

GASPOL! Hari Ini: Prabowo Ajak PKS atau PDI-P ke Dalam Koalisi?

Nasional
Ngabalin: Revisi UU Kementerian Negara untuk Kebutuhan Masyarakat, Paten Itu Barang...

Ngabalin: Revisi UU Kementerian Negara untuk Kebutuhan Masyarakat, Paten Itu Barang...

Nasional
Soal Revisi UU Kementerian Negara, Golkar: Baleg Mewakili Partai-partai

Soal Revisi UU Kementerian Negara, Golkar: Baleg Mewakili Partai-partai

Nasional
Soal RUU Penyiaran, KIP: UU Pers Bilang Wartawan Tak Boleh Dihalangi

Soal RUU Penyiaran, KIP: UU Pers Bilang Wartawan Tak Boleh Dihalangi

Nasional
Temui Gubernur Jenderal Australia David Hurley, Prabowo Kenang Masa Jadi Kadet

Temui Gubernur Jenderal Australia David Hurley, Prabowo Kenang Masa Jadi Kadet

Nasional
Jemaah Haji Bersiap Menuju Makkah, Ketua PPIH Arab Saudi Pastikan Hak Jemaah Terpenuhi

Jemaah Haji Bersiap Menuju Makkah, Ketua PPIH Arab Saudi Pastikan Hak Jemaah Terpenuhi

Nasional
Soal RUU Penyiaran, Setara Institute: DPR dan Pemerintah Harus Perluas Partisipasi Publik

Soal RUU Penyiaran, Setara Institute: DPR dan Pemerintah Harus Perluas Partisipasi Publik

Nasional
PDI-P Bakal Jemput Bola Kader untuk Maju di Pilkada Sumut

PDI-P Bakal Jemput Bola Kader untuk Maju di Pilkada Sumut

Nasional
Jadi Perempuan Pertama Berpangkat Mayjen TNI AD, Dian Andriani Harap Kowad Lain Menyusul

Jadi Perempuan Pertama Berpangkat Mayjen TNI AD, Dian Andriani Harap Kowad Lain Menyusul

Nasional
Jokowi Bakal Tinjau Lokasi Banjir Lahar di Sumbar Pekan Depan

Jokowi Bakal Tinjau Lokasi Banjir Lahar di Sumbar Pekan Depan

Nasional
Nurul Ghufron Tak Hadir karena Belum Tuntas Siapkan Pembelaan, Dewas KPK Tunda Sidang Etik

Nurul Ghufron Tak Hadir karena Belum Tuntas Siapkan Pembelaan, Dewas KPK Tunda Sidang Etik

Nasional
PDI-P Tuding Jokowi Cawe-cawe Pilkada dengan Bansos Beras, Ngabalin: Segera Lah Move on

PDI-P Tuding Jokowi Cawe-cawe Pilkada dengan Bansos Beras, Ngabalin: Segera Lah Move on

Nasional
Soal Revisi UU Kementerian Negara, Ngabalin: Mudah-mudahan Cepat, Itu Arah Haluan Prabowo-Gibran

Soal Revisi UU Kementerian Negara, Ngabalin: Mudah-mudahan Cepat, Itu Arah Haluan Prabowo-Gibran

Nasional
Risma Relokasi 2 Posko Pengungsian Banjir Lahar Dingin di Sumbar yang Berada di Zona Merah

Risma Relokasi 2 Posko Pengungsian Banjir Lahar Dingin di Sumbar yang Berada di Zona Merah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com