Perang boleh jadi ada waktu berakhirnya. Perang Kurukshetra yang sangat dahsyat pun, sebuah pertempuran yang menelan jutaan tentara mati, cuma memakan waktu selama 18 hari.
Bahkan Perang Troya, sebuah perang yang tidak hanya melibatkan Raja Sparta, juga Dewa Zeus, Dewi Athena, Dewi Hera, dan Dewi Aphrodite, hanya memakan waktu 7 hari.
Perang tersebut, memang dalam mitologi India dan Yunani bisa diasumikan mitos. Tapi perang yang paling nyata di dunia ini pun, ada batasnya.
Perang Dunia I terjadi dari 28 Juli 1914 – 11 November 1918, dan Perang Dunia II terjadi pada 1 September 1939 – 2 September 1945.
Kendati demikian, warga dunia serasa pesimis terhadap terjadinya Perang Rusia-Ukrania yang sudah berlangsung satu tahun belum juga terlihat tanda-tanda perang berakhir.
Dalam konteks ini, apa yang pernah dicibirkan Albert Einstein –seorang perumus bom atom yang dipakai Perang Dunia 2—bahwa ia tidak tahu dengan senjata apa Perang Dunia 3 dipertarungkan, “tapi Perang Dunia 4 akan bertarung dengan tongkat dan batu."
Sekurang-kurangnya bila Perang Rusia-Ukraina tidak diharapkan menjadi Perang Dunia 3, namun ketika terus berlajut, selain menimbulkan jutaan korban, juga bisa mengganggu tananan dunia. Sekaligus ini menandakan bahwa manusia modern mempunyai sifat hancur menghancurkan.
Sebab itu kedatangan Presiden China Xi Jinping ke Moskow dan bertemu dengan Pemimpin Rusia Vladimir Putin, pada 20 Maret 2023, dengan tujuan perdamaian untuk akhiri perang di Ukraina, mengusung harapan warga dunia yang cinta damai.
Namun persoalannya kata “damai” tidak semata bersemayam dari olah pikir dan olah rasa dalam mencari makna dan nilai hidup kerukunan.
Melainkan ia muncul justru dari pengertian keseimbangan “kekuasaan” dunia, demi sebuah kepentingan.
Kepentingan akan hal itu yang paling dekat dilihat, adalah China dapat menjadi perantara kekuatan global, maka Amerika Serikat (AS) dalam bahaya karena kehilangan tempatnya sebagai pemimpin tak terbantahkan dalam diplomasi internasional. Karuan saja pertemuan Xi Jinping dan Vladimir Putin mendapat sorotan tajam dari AS.
Dari itu dalam memahami “damai” pada kepentingan geopolitik dan geostrategi, muncul pengertian baru, yang antara lain bernama “mempersiapkan perang” –sebuah pengalaman brutal dan getir yang sudah dilakukan manusia sejak abad ke 5.
Maka untuk sesuatu yang berharga, haruskah ingin damai sekaligus mempersiapkan perang?
Geopolitik dan geostrategi sebetulnya bergulat pula dengan pengertian-pengertian peka dan menyeluruh untuk pertanyaan yang mengerikan itu.
Persiapan perang, dalam pengertiannya yang paling halus, menjadi diskursif yang terus mengapung dalam doktrin-doktrin geopolitik dan geostrategi.
Dan diskursif dari ini, menjadi sebuah wacana “perang” yang paling murah ongkosnya ketimbang menggerakkan mesin-mesin perang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.