EVENT olahraga internasional adalah etalase bagi negara-negara di dunia untuk menaikkan prestise ekonomi negaranya di hadapan negara-negara lainnya.
Kemampuan menyelenggarakan event sekelas Piala Dunia dan Olimpiade dengan baik dan menarik adalah suatu hal penting.
Namun, kemampuan menjadikan event olahraga internasional sebagai instrumen untuk me-leverage reputasi negara di pentas dunia jauh lebih penting dan strategis.
Karena itulah negara-negara di dunia ini saling adu tawar dan adu argumen di Komite Olimpiade atau FIFA untuk menjadi "host" event olahraga internasional sekelas Olimpiade dan Piala Dunia.
Lihat saja daftar negara-negara yang telah menjadi tuan rumah event-event tersebut, lalu bandingkan dengan waktu saat mereka menjadi tuan rumah, di sana akan terlihat jelas bahwa status "host" event diraih justru di saat ekonomi negara tersebut sedang dikagumi oleh dunia.
Jadi sangat bisa dipahami mengapa status tuan rumah untuk event internasional olahraga lebih banyak disandang oleh negara-negara maju, lalu diikuti oleh negara-negara yang ekonominya sedang tumbuh pesat.
China dua kali menjadi tuan rumah Olimpiade belakangan ini seiring dengan moncernya perekonomian China yang terus-menerus menjadi perbincangan dunia.
Saat Rusia menjadi tuan rumah Piala Dunia di Sochi pada 2018, ekonomi Rusia sedang luar biasa, meskipun ketegangan geopolitis dengan Rusia terus terjadi karena Rusia mencaplok Crimea setelah Olimpiade Sochi 2014.
Kedua event di Sochi (2014/2018) menjadi event dunia pertama yang diselenggarakan di Rusia sejak pembubaran Uni Soviet pada tahun 1991, seolah-olah menjadi perlambang kebangkitan kembali Federasi Rusia.
Saat Afrika Selatan menjadi tuan rumah Piala Dunia pada 2010, Afrika Selatan sedang menjadi pembicaraan dunia terkait statusnya sebagai lokomotif utama perekonomian benua Afrika. Afrika Selatan menjadi negara pertama di benua Afrika yang menggelar kejuaraan Piala Dunia.
Saat Brasil menjadi tuan rumah Piala Dunia ke-20 atau tenar dengan sebutan Copa do Mundo FIFA de 2014, kata-kata "BRIC" sedang tenar-tenarnya, setelah diperkenalkan oleh analis Goldman Sachs beberapa tahun sebelumnya.
BRIC (Brasil, Rusia, India, dan China) adalah singkatan yang menempatkan Brasil masuk kategori negara "emerging market" sebagai salah satu lokomotif penting ekonomi global, setara dengan raksasa ekonomi lainnya, China, India, dan Rusia.
Pun event Piala Dunia teranyar di Qatar pada 2022, tidak lepas dari logika ini di mana sebuah negara kecil di Timur Tengah justru memiliki kinerja ekonomi sangat solid di satu sisi, tapi juga menuai reputasi global yang unik di sisi lain, baik karena adanya Al Jazeera atau karena terobosan-terobosan geopolitik Qatar yang acapkali berbeda dengan negara besar di Timur Tengah lainnya.
Jadi dalam konteks negara-negara yang kinerja perekonomiannya sedang melejit, event sekelas Olimpiade dan Piala Dunia adalah event berharga untuk melengkapi raihan ekonomi negara tersebut di pentas global yang akan melahirkan reputasi "kelas atas" di mata negara-negara lainnya.
Dan reputasi tersebut adalah salah satu aset yang sangat langka di satu sisi dan sangat berharga secara geopolitis di sisi lain.
Mengapa? Langka karena kerasnya persaingan untuk mendapatkan status sebagai tuan rumah dari event mondial berkelas premium tersebut.
Berharga karena aset semacam itu masuk ke dalam kategori "soft power," sebuah aset tidak berbentuk yang mengindikasikan bahwa negara tersebut memiliki pengaruh di tingkat global (State influence).
Logika ini juga berlaku untuk satu event yang levelnya sedikit di bawah event Piala Dunia, tapi justru kita lewatkan dengan cara yang cukup memalukan baru-baru ini, yakni Piala Dunia U-20.
Piala Dunia Sepakbola U-20 atau FIFA World Cup U-20 yang semula rencananya akan digelar pada 20 Mei - 11 Juni 2023 mendatang.
Jujur saja, saya sudah tidak berselera lagi untuk memperdebatkan hal remeh temeh yang membuat event ini gagal "landing" di Indonesia.
Namun sebagaimana saya jelaskan di paragraf-paragraf sebelumnya di atas, saya ingin menekankan tentang apa yang sebenarnya tersembunyi tapi sangat penting di balik event yang telah kita remehkan tersebut, yakni soal harga diri.
Ya, itulah yang telah kita lewatkan dengan cara yang justru cukup menyedihkan atau mungkin juga menyakitkan.
Di balik reputasi dari event-event internasional olahraga, tersimpan tingkatan harga diri negara kita di hadapan negara lainnya. Harga diri ini akan menjadi aset penting yang akan menentukan level pengaruh kita di pentas dunia.
Padahal, di mata dunia, ekonomi Indonesia sedang mekar-mekarnya. Indonesia menjadi salah satu negara "harapan" dunia yang akan ikut menggerakkan roda perekonomian dunia di saat hantu resesi mengintai negara-negara lain, terutama negara-negara maju.
Dengan konteks ini kita bisa memahami mengapa kita dipercaya sebagai tuan rumah alias pemegang status presidensi KTT G20, pun presidensi ASEAN, termasuk event sekelas Grand Prix.
Kepercayaan tersebut tidak akan jatuh ke Indonesia, jika anggota G20 dan ASEAN tidak yakin dengan kinerja ekonomi Indonesia.
Artinya, kegagalan menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 akan menjadi pintu masuk bagi komite-komite event internasional lainnya untuk mengevaluasi posisi Indonesia dan berpikir panjang untuk menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah pada event-event internasional lainnya.
Kita kehilangan satu etalase penting yang sebenarnya bisa kita gunakan untuk menyampaikan pesan siapa diri kita dan apa yang telah kita capai selama ini kepada dunia.
Bukankah kita sudah membuktikannya dengan aneka pujian internasional atas sukses pelaksanaan KTT G20 di Bali pada 2022.
Kehilangan kali ini, tidak menutup kemungkinan akan diikuti dengan hilangnya peluang-peluang lainnya di masa depan.
Mengapa ini bisa terjadi? Seperti saya sampaikan di atas, saya tidak mau terlibat lebih jauh dalam perdebatan yang sebenarnya sudah jelas perkaranya.
Namun untuk memudahkan pemahaman, saya akan mengutip satu kutipan bagus dari seorang intelektual progresif untuk menggambarkan garis besar mengapa kita begitu gegabah kali ini.
"The first lesson of economics is scarcity: There is never enough of anything to satisfy all those who want it. The first lesson of politics is to disregard the first lesson of economics", tulis Thomas Sowell, cendekiawan Amerika Serikat alumni Universitas Harvard.
Ya, persis seperti itulah yang terjadi. Langkah politik untuk mengenyangkan hasrat dan kepentingan kelompok yang seharusnya digunakan terbatas dalam ranah politik praktis alias dalam pergaulan antarsesama politisi dan kelompok politisi, justru digunakan untuk sesuatu yang jauh di luar konteksnya.
Walhasil, langkah politik tersebut justru menyerobot kepentingan bangsa dan negara di pentas global.
Memang banyak sanksi organisasi yang akan menanti, tapi jauh lebih krusial dari itu adalah risiko reputasional alias hilangnya etalase bangsa dan negara ini untuk meningkatkan harga diri sebagai negara, Republik Indonesia, di mata dunia.
Pun lebih dari itu, kegagalan menyandang status sebagai "host" Piala Dunia U-20 tidak saja menyudutkan reputasi bangsa, tapi juga meredupkan mimpi-mimpi anak muda kita generasi pemilik masa depan bangsa ini yang sangat berharap bisa membuktikan dirinya di event berkelas internasional tersebut.
Memupuskan mimpi generasi muda adalah tindakan tidak terpuji, apalagi jika dilakukan oleh elite-elite politik yang seharusnya bertugas menyiapkan lapangan yang kondusif dan produktif untuk anak-anak muda bangsa menghadapi masa depan.
Tak lupa, kehilangan event juga berarti kehilangan momen bagi pelaku-pelaku ekonomi kita, terutama UMKM, yang seharusnya bisa menikmati renyahnya rejeki dari event berkelas internasional.
Pendeknya, bagi para elite yang merasa ikut menyebabkan kegagalan ini terjadi, sebaiknya segera introspeksi dan belajar dari kesalahan hari ini, agar tidak lagi mempertaruhkan harga diri bangsa dan negara sekaligus mimpi generasi muda untuk "political gain" yang dangkal.
Ada banyak resep dan strategi politik yang bisa digunakan untuk menang dalam pemilihan, tapi jangan sekali-kali menjadikan harga diri dan reputasi bangsa di satu sisi dan mimpi-mimpi generasi muda kita di sisi lain sebagai taruhannya.
Terlalu naif dan sangat tidak sepadan. Think big, dream big, believe big, and the results will be big. Semoga
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.