Pola Political Recalling ini dapat dikatakan sebagai bagian dari skenario politik kartel (Herlambang Wiratraman, 2022) untuk melemahkan lembaga demokrasi seperti MK yang bisa menjadi penyeimbang kekuasaan melalui kewenangan Judicial Reveiew.
Sebagaimana pemufakatan jahat legislasi Presiden dan DPR sebelumnya dengan melemahkan lembaga demokrasi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi melalui Revisi UU KPK.
Gejala ini disebut oleh Gunther Frankenberg (2019) sebagai konstitusionalisme otoriter, yakni proses hukum bahkan melalui mekanisme yang konstitusional melemahkan lembaga negara pengawas dan penyeimbang untuk memuluskan kendali pembentukan hukum termasuk kekuasaan kehakiman demi mencapai tujuan otoritarianisme.
Upaya melemahkan Independensi Mahkamah Konstitusi melalui Political Recalling kedepan sepertinya akan lebih diperkuat dengan legitimasi undang-undang.
Sebab saat ini sedang bergulir proses perubahan keempat UU MK, yang mana akan diatur mekanisme evaluasi hakim oleh DPR, Presiden dan MA sebagai lembaga pengusul.
Mekanisme ini, sekaligus akan membenarkan sikap DPR terhadap pemberhentian Aswanto. Praktik ini merupakan suatu otokrasi hukum (autocratic legalism) seperti yang dikemukakan Kim L. Scheppele (2018), yaitu tindakan penguasa yang berlindung atas nama hukum untuk membenarkan tindakan otokrasi yang melanggar prinsip-prinsip umum.
Lebih dari itu sengaja melakukan serangan terhadap institusi yang hendak akan mengawasi dirinya.
Hal serupa dengan pendapat Zainal Arifin Mochtar (2022) yang menyatakan bahwa dengan rusaknya independensi peradilan (the undermined judicial independence) maka saat itu pula autocratic legalism sedang bekerja.
Kuasa politik untuk menguasai Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, pada dasarnya berbanding terbalik dengan idealita bahwa MK merupakan lembaga penyeimbang kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam menggunakan kewenangannya agar taat dan sesuai dengan konstitusi. Keadaan yang bertolak belakang ini akan berujung pada the end of history the constitutional democratic state (Palguna,2022).
Pelanggaran Sapta Karsa Hutama oleh Hakim Konstitusi Guntur Hamzah merupakan masalah serius bagi Mahkamah Konstitusi sebagai suatu lembaga Kekuasaaan Kehakiman.
Integritas hakim menjadi “nadi” kehidupan harapan dan kepercayaan publik bagi suatu pengadilan. Pengadilan yang berfungsi sebagai penegakan hukum dan keadilan akan terwujud jika para penggeraknya, yakni hakim memiliki rasa kejujuran dalam menjalankan tugas. Integritas soal kualitas kejujuran dan memiliki moral-moral yang kuat (Hornby, 1995).
Label negarawan yang melekat pada hakim konstitusi sesuai Pasal 24C ayat (5) UUD 1945, berkonsekuensi pada nilai integritasnya tidak perlu diragukan lagi (unquestionably integrity) sebab syarat utama seorang negarawan seperti yang dikemukakan Eisenhower, yaitu integritas dan tujuan mulia dari ajaran dan tindakannya.
Kasus Guntur Hamzah, menjadi suatu refleksi bersama terkait perbedaan karakteristik negarawan dan politisi. Sebagaimana yang dikemukakan pemikir politik Inggris Edmund Burke, negarawan memiliki kapasitas untuk berpikir jangka panjang dan bekerja pada prinsip-prinsip yang telah ditetapkan, sementara sikap politisi adalah sebaliknya.
Sikap Guntur Hamzah untuk tetap bertahan pada jabatan setelah membuat buruk citra Mahkamah Konstitusi, membuat status Negarawan Guntur Hamzah dipertanyakan kembali.
Merosotnya integritas aparat penegak hukum termasuk hakim konstitusi belakangan, disebabkan pula karena minimnya etika politik (political ethic) yang bersandar pada konstitusi dengan menjadikan UUD 1945 sebagai “living constitution”, yaitu nilai konstitusi yang senantiasa dianggap hidup dalam penyelenggaraan negara. Berkaitan dengan itu faktor politik menjadi penentu dalam penegakan kaidah-kaidah konstitusi.