Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pascal Wilmar Yehezkiel
Pemerhati Hukum

Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan FH UGM

Mahkamah Konstitusi Kontemporer: Defisit Integritas dan Peluang Perbaikan

Kompas.com - 30/03/2023, 15:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pola Political Recalling ini dapat dikatakan sebagai bagian dari skenario politik kartel (Herlambang Wiratraman, 2022) untuk melemahkan lembaga demokrasi seperti MK yang bisa menjadi penyeimbang kekuasaan melalui kewenangan Judicial Reveiew.

Sebagaimana pemufakatan jahat legislasi Presiden dan DPR sebelumnya dengan melemahkan lembaga demokrasi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi melalui Revisi UU KPK.

Gejala ini disebut oleh Gunther Frankenberg (2019) sebagai konstitusionalisme otoriter, yakni proses hukum bahkan melalui mekanisme yang konstitusional melemahkan lembaga negara pengawas dan penyeimbang untuk memuluskan kendali pembentukan hukum termasuk kekuasaan kehakiman demi mencapai tujuan otoritarianisme.

Upaya melemahkan Independensi Mahkamah Konstitusi melalui Political Recalling kedepan sepertinya akan lebih diperkuat dengan legitimasi undang-undang.

Sebab saat ini sedang bergulir proses perubahan keempat UU MK, yang mana akan diatur mekanisme evaluasi hakim oleh DPR, Presiden dan MA sebagai lembaga pengusul.

Mekanisme ini, sekaligus akan membenarkan sikap DPR terhadap pemberhentian Aswanto. Praktik ini merupakan suatu otokrasi hukum (autocratic legalism) seperti yang dikemukakan Kim L. Scheppele (2018), yaitu tindakan penguasa yang berlindung atas nama hukum untuk membenarkan tindakan otokrasi yang melanggar prinsip-prinsip umum.

Lebih dari itu sengaja melakukan serangan terhadap institusi yang hendak akan mengawasi dirinya.

Hal serupa dengan pendapat Zainal Arifin Mochtar (2022) yang menyatakan bahwa dengan rusaknya independensi peradilan (the undermined judicial independence) maka saat itu pula autocratic legalism sedang bekerja.

Kuasa politik untuk menguasai Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, pada dasarnya berbanding terbalik dengan idealita bahwa MK merupakan lembaga penyeimbang kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam menggunakan kewenangannya agar taat dan sesuai dengan konstitusi. Keadaan yang bertolak belakang ini akan berujung pada the end of history the constitutional democratic state (Palguna,2022).

Defisit integritas dan perlunya etika politik

Pelanggaran Sapta Karsa Hutama oleh Hakim Konstitusi Guntur Hamzah merupakan masalah serius bagi Mahkamah Konstitusi sebagai suatu lembaga Kekuasaaan Kehakiman.

Integritas hakim menjadi “nadi” kehidupan harapan dan kepercayaan publik bagi suatu pengadilan. Pengadilan yang berfungsi sebagai penegakan hukum dan keadilan akan terwujud jika para penggeraknya, yakni hakim memiliki rasa kejujuran dalam menjalankan tugas. Integritas soal kualitas kejujuran dan memiliki moral-moral yang kuat (Hornby, 1995).

Label negarawan yang melekat pada hakim konstitusi sesuai Pasal 24C ayat (5) UUD 1945, berkonsekuensi pada nilai integritasnya tidak perlu diragukan lagi (unquestionably integrity) sebab syarat utama seorang negarawan seperti yang dikemukakan Eisenhower, yaitu integritas dan tujuan mulia dari ajaran dan tindakannya.

Kasus Guntur Hamzah, menjadi suatu refleksi bersama terkait perbedaan karakteristik negarawan dan politisi. Sebagaimana yang dikemukakan pemikir politik Inggris Edmund Burke, negarawan memiliki kapasitas untuk berpikir jangka panjang dan bekerja pada prinsip-prinsip yang telah ditetapkan, sementara sikap politisi adalah sebaliknya.

Sikap Guntur Hamzah untuk tetap bertahan pada jabatan setelah membuat buruk citra Mahkamah Konstitusi, membuat status Negarawan Guntur Hamzah dipertanyakan kembali.

Merosotnya integritas aparat penegak hukum termasuk hakim konstitusi belakangan, disebabkan pula karena minimnya etika politik (political ethic) yang bersandar pada konstitusi dengan menjadikan UUD 1945 sebagai “living constitution”, yaitu nilai konstitusi yang senantiasa dianggap hidup dalam penyelenggaraan negara. Berkaitan dengan itu faktor politik menjadi penentu dalam penegakan kaidah-kaidah konstitusi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sejarah Hari Buku Nasional

Sejarah Hari Buku Nasional

Nasional
Tanggal 15 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 15 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
UPDATE BNPB: 19 Orang Meninggal akibat Banjir Bandang di Agam Sumbar

UPDATE BNPB: 19 Orang Meninggal akibat Banjir Bandang di Agam Sumbar

Nasional
KNKT Investigasi Kecelakaan Bus Rombongan Siswa di Subang, Fokus pada Kelayakan Kendaraan

KNKT Investigasi Kecelakaan Bus Rombongan Siswa di Subang, Fokus pada Kelayakan Kendaraan

Nasional
Partai Buruh Berniat Gugat Aturan Usung Calon Kepala Daerah ke MK

Partai Buruh Berniat Gugat Aturan Usung Calon Kepala Daerah ke MK

Nasional
Cerita Sulitnya Jadi Ketua KPK, Agus Rahardjo: Penyidik Tunduk ke Kapolri, Kejaksaan, Sampai BIN

Cerita Sulitnya Jadi Ketua KPK, Agus Rahardjo: Penyidik Tunduk ke Kapolri, Kejaksaan, Sampai BIN

Nasional
Jemaah Haji Mulai Diberangkatkan, Fahira Idris: Semoga Sehat, Selamat, dan Mabrur

Jemaah Haji Mulai Diberangkatkan, Fahira Idris: Semoga Sehat, Selamat, dan Mabrur

Nasional
Jemaah Haji Gelombang Pertama Tiba di Madinah, Disambut Meriah

Jemaah Haji Gelombang Pertama Tiba di Madinah, Disambut Meriah

Nasional
Jokowi Diminta Tak Cawe-cawe Pemilihan Capim KPK

Jokowi Diminta Tak Cawe-cawe Pemilihan Capim KPK

Nasional
PBNU: Pratik Haji Ilegal Rampas Hak Kenyamanan Jemaah

PBNU: Pratik Haji Ilegal Rampas Hak Kenyamanan Jemaah

Nasional
Prabowo Disebut Bisa Kena Getah jika Pansel Capim KPK Bentukan Jokowi Buruk

Prabowo Disebut Bisa Kena Getah jika Pansel Capim KPK Bentukan Jokowi Buruk

Nasional
Gerindra Dorong Penyederhanaan Demokrasi Indonesia: Rakyat Tak Harus Berhadapan dengan TPS

Gerindra Dorong Penyederhanaan Demokrasi Indonesia: Rakyat Tak Harus Berhadapan dengan TPS

Nasional
Sekjen Gerindra Sebut Revisi UU Kementerian Negara Dimungkinkan Tuntas Sebelum Pelantikan Prabowo

Sekjen Gerindra Sebut Revisi UU Kementerian Negara Dimungkinkan Tuntas Sebelum Pelantikan Prabowo

Nasional
Pimpinan Komisi X Bantah Pernyataan Stafsus Jokowi soal Banyak Keluarga dan Orang Dekat DPR Menerima KIP Kuliah

Pimpinan Komisi X Bantah Pernyataan Stafsus Jokowi soal Banyak Keluarga dan Orang Dekat DPR Menerima KIP Kuliah

Nasional
Gerindra Siapkan 4 Kader Maju Pilkada DKI, Ada Riza Patria, Budi Satrio, dan Sara

Gerindra Siapkan 4 Kader Maju Pilkada DKI, Ada Riza Patria, Budi Satrio, dan Sara

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com