Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saling Serang Mahfud dan Benny K Harman soal Transaksi Janggal: Singgung Wewenang hingga Isu Singkirkan Menkeu

Kompas.com - 30/03/2023, 12:07 WIB
Fitria Chusna Farisa

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dan anggota Komisi III DPR RI Fraksi Demokrat Benny K Harman "saling serang" soal kabar dugaan transaksi janggal senilai Rp 349 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Momen itu terjadi dalam rapat Komisi III DPR RI bersama Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (30/3/2023).

Baca juga: 8 Jam Mahfud Rapat dengan Komisi III, Beberkan Asal-usul Transaksi Janggal Rp 349 Triliun di Kemenkeu

Gaduh kabar dugaan transaksi janggal di Kemenkeu sendiri sudah ramai sejak pertengahan Maret lalu. Ramai-ramai anggota DPR mengkritik Mahfud karena dinilai membocorkan dokumen rahasia TPPU.

Namun, Mahfud tetap pada pendiriannya. Dia bahkan menantang sejumlah anggota DPR, termasuk Benny K Harman, untuk berdebat langsung dengan dirinya terkait ini.

Punya wewenang

Di hadapan jajaran Komisi III DPR, Mahfud mengaku punya wewenang untuk mengungkap dugaan transaksi mencurigakan hasil temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ke publik.

Menurut Mahfud, itu tak menjadi soal selama detail temuan tak diungkap, misalnya, identitas pihak-pihak terkait, atau nama perusahaan yang diduga terlibat.

"Saya mengumumkan kasus itu adalah sifatnya agregat, jadi perputaran uang, tidak menyebut nama orang, tidak menyebut nomor akun," kata Mahfud di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/3/2023).

Baca juga: Alasan Mahfud Bongkar Dugaan Pencucian Uang: Jokowi Marah Indeks Korupsi Menurun

Mahfud pun menegaskan, dirinya punya wewenang untuk menerima atau meminta laporan dari PPATK. Sebab, sebagai Menko Polhukam, dia juga bertindak sebagai Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Dia justru heran dengan DPR yang meributkan ini sampai-sampai menyinggung pasal pidana soal pembocoran dokumen rahasia TPPU yang dimuat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

Padahal, lanjut Mahfud, membuka dugaan kasus pidana ke publik bukan sesuatu yang baru dan menjadi hal wajar selama sesuai dengan ketentuan perundangan.

"Dan ini sudah banyak ini, kok Saudara baru ribut sekarang? Ini sudah banyak diumumkan kok Saudara diam saja sejak dulu?" tuturnya ke para anggota Komisi III DPR.

Mahfud lantas memerinci dugaan transaksi mencurigakan bernilai Rp 349 triliun itu menjadi 3 kelompok. Klaster pertama, transaksi mencurigakan yang langsung melibatkan pegawai Kemenkeu senilai Rp 35 triliun.

Baca juga: Ada Perbedaan Angka soal Transaksi Rp 349 T, Komisi III Akan Gelar Rapat Lanjutan bersama Menkeu, Mahfud, dan PPATK

Dalam hal ini, data Mahfud berbeda dengan yang sebelumnya diungkap oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.

"Transaksi keuangan mencurigakan di pegawai Kemenkeu, kemarin Ibu Sri Mulyani di Komisi XI (DPR RI) menyebut hanya 3 triliun, yang benar 35 triliun," katanya.

Kelompok kedua, transaksi keuangan mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dan pihak lainnya. Menurut Mahfud, transaksi ini berkisar Rp 53 triliun.

Klaster ketiga, transaksi keuangan mencurigakan terkait kewenangan Kemenkeu sebagai penyidik Tindak Pidana Asal (TPA) dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang belum diperoleh data keterlibatan pegawai Kemenkeu. Jumlahnya sekitar Rp 260 triliun.

"Sehingga jumlahnya Rp 349 triliun, fix," ujar Mahfud.

Mahfud lantas mengungkap bahwa ada 491 aparatur sipil negara (ASN) Kemenkeu, 13 ASN kementerian/lembaga lain, dan 570 non-ASN yang terlibat digaan transaksi janggal ini.

Baca juga: Mahfud Beberkan Asal Usul Transaksi Janggal Rp 349 Triliun di Kemenkeu

Bertanya bagai polisi

Dalam rapat yang sama, Mahfud mencecar Benny K Harman. Dia merasa tersinggung terhadap gaya Benny yang ketika bertanya seperti seorang polisi.

"Saya sampaikan juga sekarang ke Pak Benny, lho tanyanya kok seperti polisi, Menko boleh mengungkapkan (laporan hasil analisis) apa enggak?" kata Mahfud.

Menurut Mahfud, Benny tak perlu bertanya terlalu dalam perihal motif dirinya menyampaikan temuan PPATK. Sebab, sebagai Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, dia punya wewenang.

Mahfud mengatakan, tak ada satu pun aturan yang melarang Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU mengungkap temuan PPATK ke khalayak luas.

"Nih, saya tanya ke Pak Benny, Pak Benny, boleh ndak saya ke kamar mandi sekarang, boleh, mana pasalnya? Ndak ada, karena boleh. Kalau dilarang, baru ada pasalnya," ujar Mahfud.

"Tidak ada satu kesalahan, tidak ada satu yang dihalangi itu sampai ada undang-undang yang melarang terlebih dulu. Lho ini tidak dilarang kok, lalu (saya) ditanya kayak copet saja," tuturnya kesal.

Tak dilarang

Menjawab Mahfud, Benny K Harman balik melancarkan "serangan". Politisi Partai Demokrat itu mengatakan, setiap anggota DPR punya hak untuk bertanya ke unsur pemerintahan, meski terkadang pertanyaannya tajam.

"Kadangkala Pak Mahfud, Pak Mahfud tahu juga, kita bertanya seperti kala lagi polisi tanya klien, tanya tanya, atau jaksa tanya terperiksa. Kadang kala lebih tajam," kata Benny.

Baca juga: Mahfud Bongkar Transaksi Janggal di Kemenkeu, Benny K Harman: Sudah Jadi Oposisi?

Memang, kata Benny, pertanyaan yang tajam bisa menimbulkan kesan buruk bagi hubungan DPR dan pemerintah. Namun demikian, dia menegaskan bahwa kedudukan DPR dan pemerintah sejajar untuk saling menyeimbangkan.

Tak hanya hak bertanya, lanjut Benny, DPR juga punya hak menyampaikan interupsi dalam rapat. Wewenang itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3).

"Itu diatur dalam undang-undang ini supaya jangan ada anggapan kita bikin-bikin," katanya.

Prasangka buruk

Benny pun meminta agar kabar dugaan transaksi mencurigakan di lingkungan Kemenkeu yang Mahfud ungkap dibuka seterang-terangnya. Ini penting agar publik tak berspekulasi.

Benny sendiri mengaku sempat berprasangka buruk ke Mahfud. Dia curiga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu punya motif politik di balik kegaduhan ini.

"Saya menantang supaya Pak Mahfud buka, supaya buka sejelas-jelasnya agar apa yang bapak sampaikan itu tidak menjadi pertanyaan atau spekulasi atau analisis, analisa di publik. Spekulasi itu sangat jelek," kata Benny.

"Saya termasuk yang punya prasangka jelek atas apa yang disampaikan Pak Mahfud," ujarnya.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat Benny K Harman ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (27/3/2023).KOMPAS.com/NICHOLAS RYAN ADITYA Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat Benny K Harman ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (27/3/2023).
Benny sempat curiga Mahfud ingin menjatuhkan pemerintahan saat ini karena menggulirkan kabar dugaan transaksi janggal di Kemenkeu. Menurutnya, sikap Mahfud itu jadi anomali lantaran dia merupakan bagian dari pemerintah.

"Malah saya tanya tanya. Wah senang juga Pak Mahfud ini, ada kawan baru juga saya. Apakah Pak Mahfud sudah menjadi bagian dari oposisi pemerintahan?" kata Benny disambut tawa Mahfud dan para anggota DPR lain.

"Soeharto jatuh karena ada anggota kabinetnya yang melakukan perlawanan dari dalam, ya," lanjutnya.

Bahkan, Benny berprasangka, informasi transaksi janggal itu sengaja digulirkan untuk menyingkirkan Menteri Keuangan Sri Mulyani dari kabinet pemerintahan.

Baca juga: Momen Benny K Harman Tanya Mahfud MD soal Isu Singkirkan Sri Mulyani karena Tolak Minyak Rusia

Anggota Fraksi Demokrat itu curiga, upaya menyingkirkan Sri Mulyani itu imbas dari sikap sang Bendahara Negara yang dikabarkan menolak rencana pembelian minyak dari Rusia.

Sebab, desas-desus yang beredar, banyak pejabat pemerintahan yang tak setuju dengan langkah Sri Mulyani tersebut.

"Ada isu kan, Pak, Sri Mulyani, Menkeu menolak rencana beli minyak Rusia masuk Indonesia. Banyak pejabat yang tidak suka, banyak pembantu (menteri) yang lainnya juga yang tidak suka, Pak Mahfud," kata Benny.

Benny mengatakan, kecurigaannya bukan tanpa alasan. Sejak kabar dugaan transaksi mencurigakan di lingkungan Kemenkeu mencuat, Sri Mulyani jadi sorotan.

Kepada DPR, Sri Mulyani telah memberikan penjelasan soal informasi tersebut. Namun, apa yang disampaikan Menkeu itu berbeda dengan penjelasan Mahfud MD ke legislator.

Baca juga: Diminta Mahfud Golkan UU Perampasan Aset, Bambang Pacul: Mana Berani, Telepon Ibu Dulu

Menurut Benny, perbedaan penjelasan inilah yang pada akhirnya memunculkan beragam spekulasi, termasuk dugaan menyingkirkan Sri Mulyani.

"Bapak tahu oligarki, jangan-jangan memang kelompok ini tidak suka sri mulyani menjadi Menkeu menjelang 2024," tuding Benny.

Oleh karenanya, Benny kembali meminta persoalan ini dibuka hingga terang benderang. Menurutnya, simpang siur informasi transaksi mencurigakan ini sudah menjurus ke pembohongan publik.

"Kalau bisa besok untuk menuntaskan ini. Supaya tahu siapa yang sebenarnya melakukan pembohongan publik, ini kan pembohongan sebenarnya, tapi kita nggak tahu yang berbohong ini siapa," kata Benny.

"Bisa kita selesaikan secara publik, tidak boleh ada yang ditutup-tutupi," tuturnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Nasional
Bupati Sidoarjo Berulang Kali Terjerat Korupsi, Cak Imin Peringatkan Calon Kepala Daerah Tak Main-main

Bupati Sidoarjo Berulang Kali Terjerat Korupsi, Cak Imin Peringatkan Calon Kepala Daerah Tak Main-main

Nasional
Wapres Ajak Masyarakat Tetap Dukung Timnas U-23 demi Lolos Olimpiade

Wapres Ajak Masyarakat Tetap Dukung Timnas U-23 demi Lolos Olimpiade

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Nasional
Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Nasional
Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang 'Toxic'

Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang "Toxic"

Nasional
Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Projo: Nasihat Bagus

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Projo: Nasihat Bagus

Nasional
Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Nasional
Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Nasional
Tak Cemas Lawan Kandidat Lain pada Pilkada Jatim, Khofifah: Kenapa Khawatir?

Tak Cemas Lawan Kandidat Lain pada Pilkada Jatim, Khofifah: Kenapa Khawatir?

Nasional
Khofifah Tolak Tawaran Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Khofifah Tolak Tawaran Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Nasional
Soal Duetnya pada Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Soal Duetnya pada Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Nasional
Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Nasional
Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com