JAKARTA. KOMPAS.com - Sistem pemilihan umum (Pemilu) proporsional terbuka yang saat ini tengah dibahas di Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai tidak ramah terhadap psikologi calon pemilih.
Menurut pakar psikologi politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk, sistem pemilu yang diterapkan saat ini terlampau rumit bagi masyarakat.
Kerumitan itu bisa dilihat dari teknis penyelenggaraan, jumlah peserta, model surat suara, hingga mekanisme penghitungan suara.
"Saya sebagai psikolog politik melihat orang enggal mungkin memilih opsi yang ajeg kalau pilihannya banyak. Kan sekarang setiap Pemilu partainya banyak, calegnya banyak. Manusia itu hanya bisa membedakan maksimal 3 atau 4 pilihan. Itu sudah paling baik. Makanya menurut saya, pemilu kita tidak ramah dari sisi psikologi voter (pemilih)," kata Hamdi saat dihubungi Kompas.com, Kamis (9/3/2023).
Baca juga: Di Sidang MK, Yusril: Sistem Proporsional Terbuka Bikin Parpol Jagokan Kader Partai Lain
Hamdi menilai, sistem kepartaian yang ada membuat masyarakat semakin bingung menentukan pilihan.
Penyebabnya, kata Hamdi, tidak ada partai yang benar-benar teguh menampilkan ciri ideologinya sehingga yang terjadi masyarakat hanya memilih sosok politikus yang populer dan dekat dengan mereka, bukan kader yang dibina dengan pemahaman ideologi partai.
"Kalau dibuka terus seperti ini, partai semakin banyak semakin enggak jelas ideologinya. Kalau bisa dikerucutkan saja jadi 4 atau 5 partai. Caranya apa? Naikkan saja parliamentary threshold. Pasti nanti banyak yang akan menggabungkan diri. Dengan begitu nanti akan muncul ciri ideologi partainya," ucap Hamdi.
Hamdi juga menilai dengan sistem multipartai ekstrem seperti saat ini hanya membuat pemilihan umum sekadar pesta demokrasi tanpa nilai ideologi yang diperjuangkan.
Baca juga: Yusril: Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Lemahkan Parpol secara Struktural
"Kampanye dalam demokrasi itu kan pertarungan untuk memenangkan gagasan atau ide terhadap calon pemilih. Kalau ideologi saja enggak ada apa yang mau dimenangkan? Jadinya pemilu ya cuma pesta-pesta saja. Ramai iya, tapi enggak enggak ada yang diperjuangkan," papar Hamdi.
"Sekarang kalau di satu daerah pemilihan ada lebih dari 10 calon legislatif, semuanya kampanye, janjinya mirip-mirip. Rakyat mesti pilih siapa? Pasti yang populer kan. Yang suka ngasih sembako misalnya. Padahal ada kader yang bagus, pemahaman ideologi baik, tetap kalah sama yang populer," ucap Hamdi.
Menurut Hamdi, dengan kondisi seperti saat ini juga membuat sistem pemilu proporsional terbuka semakin rumit.
"Jadi sebenarnya cara untuk calon legislator dihargai hak-haknya dipermudah, sementara calon pemilih tidak dihargai haknya untuk memilih tanpa kerumitan," ucap Hamdi.
Baca juga: Tanggapi Yusril, PPP: Enggak Ada Parpol Murni Jualan Ideologi...
Hamdi mengatakan, dari hasil penelitian Laboratorium Psikologi Politik UI terungkap hanya 4 ideologi itu yang hidup di masyarakat Indonesia.
Ideologi yang hidup di masyarakat menurut penelitian itu adalah nasionalisme-sosialisme, nasional demokrat, pro ekonomi atau pasar bebas, dan agamis atau kelompok Islam.
Sebelumnya diberitakan, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra menyatakan saat ini di Indonesia hanya ada 2 partai ideologis.