Menurut hemat saya, inilah proses yang semestinya juga ditempuh oleh partai-partai politik di Indonesia. Kandidasi seorang calon presiden utamanya harus didasarkan kepada dukungan publik terlebih dahulu, baru kemudian pembangunan jejaring dukungan dari kalangan elite.
Dengan kata lain, hasil survei yang berasal dari lembaga-lembaga survei independen dan kredibel semestinya menjadi referensi utama bagi partai-partai politik dalam membuat daftar kandidat potensial.
Logika politik di atas nampaknya berjalan baik di beberapa kubu politik, tapi terkesan mandek di kubu lainnya.
Boleh jadi memang gerakan Partai Nasdem dalam menggaet Anies Baswedan adalah langkah politik yang tidak disukai penguasa Istana.
Namun bagaimanapun, melihat raihan dukungan publik untuk Anies Baswedan dari survei-survei yang ada, langkah Ketua Umum DPP Partai Nasdem Surya Paloh layak diacungi jempol.
Surya Paloh nyatanya tidak mencalonkan sosok yang tanpa angka karena Anies Baswedan adalah satu dari tiga kandidat yang raihan suaranya terbanyak dalam survei-survei selama kurun waktu setahun terakhir.
Pun dengan konsistensi Partai Gerindra dalam mengusung Prabowo Subianto. Tidak bisa dipungkiri bahwa Prabowo Subianto masih mengantongi elektabilitas yang cukup kompetitif, meskipun dinilai oleh beberapa pihak bahwa elektabiltas tersebut agak sulit untuk berkembang.
Namun aktualisasi logika demokrasi tersebut agak mandek saat dihadapkan kepada PDIP beberapa waktu belakangan, partai dengan raihan suara terbanyak pada pemilihan 2019 lalu.
Konsistensi Ganjar Pranowo dalam raihan angka elektabilitas di setiap survei politik yang ada belum mampu mendorong PDIP untuk lebih berani memperlihatkan kejelasan sikap politiknya terkait calon presiden resmi yang akan diusung partai berlogo banteng moncong putih itu.
Selain itu, publik masih was-was apakah PDIP akan berani mengusung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden resmi partai atau tidak di saat sikap politik tersebut diumumkan nanti karena dilema klasik yang berlangsung di internal partai.
Dilema tersebut setali tiga uang dengan dilema yang disampaikan oleh Machiavelli di atas, yakni antara memilih calon pemimpin berdasarkan dukungan publik/massa atau berdasarkan kehendak jejaring elite yang ada.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa ada nama Puan Maharani yang membayangi pencalonan Ganjar Pranowo selama ini.
Jika dihadap-hadapkan angkanya, sangat jelas hasilnya bahwa Puan Maharani tidak muncul sebagai kandidat dengan angka elektabilitas tinggi yang mampu menyaingi raihan elektabilitas Ganjar Pranowo.
Tapi di sisi lain, juga sudah menjadi pengetahuan publik bahwa ada pihak-pihak kunci di dalam partai yang mendukung pencalonan Puan Maharani, yang kemudian berimbas kepada ketidakjelasan fungsi angka elektabilitas yang diraih Ganjar Pranowo bagi partai.
Walhasil, PDIP terjebak di dalam dilema dua pilihan sebagaimana yang disebutkan oleh Machiavelli di atas.