Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Menunggu Ganjar Pranowo Diganjar Buah Manis Demokrasi

Kompas.com - 05/03/2023, 06:17 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tyrants who have the mass of the people for their friends and the nobles for their enemies are more secure than those who have the people for their enemies and the nobles for their friends; because in the former case their authority has the stronger support. For with such support a ruler can maintain himself by the internal strength of his State", tulis Niccolò Machiavelli, dalam bukunya "The Discourses on Livy".

BAHKAN seorang tiran pun secara politik akan aman bertahan di puncak kekuasaan, karena memiliki dukungan dari massa, dibanding seorang tiran yang mengandalkan dukungan dari jejaring elite, tapi dimusuhi oleh massa.

Tentu sangat bisa dipahami "jiwa zaman" dan latar sejarah yang membalut tulisan-tulisan Machiavelli, yakni zaman kejayaan absolutisme para raja.

Namun demikian, pesannya sangat jelas dan masih sangat logis untuk dijadikan referensi politik hari ini. Karena itu kita masih menemui kutipan-kutipan tulisan Machiavelli di buku-buku yang bahkan terbit di tahun-tahun belakangan.

Bahwa dukungan massa atau rakyat pada umumnya adalah basis kekuasaan yang paling masuk akal dan paling konkret sebagai legitimasi para penguasa. Apalagi di dalam tatanan demokratis.

Dukungan massa adalah syarat utama untuk menjadi seorang pemimpin yang tentunya dihasilkan melalui proses demokrasi elektoral yang demokratis.

Dengan kata lain, pendulang suara terbanyak dalam laga pemilihan presiden, kepala daerah, atau bahkan kepala desa, adalah penguasa "legitimate" secara politik dan "secured", jika menggunakan istilah dari Machiavelli, sang filsuf politik terkenal di Eropa pada masa Renaisans.

Karena ujung dari pemilihan adalah untuk mendapatkan pemimpin yang paling banyak dukungan publiknya, maka kandidat yang dilibatkan di dalam pemilihan tentunya haruslah kandidat-kandidat yang memiliki indikator ke arah tersebut.

Pasalnya, sebelum pemilihan benar-benar dilangsungkan, kita belum memiliki data pasti soal dukungan masing-masing kandidat.

Jadi cara terbaik untuk mengetahuinya adalah dengan melibatkan kandidat yang memiliki indikasi dukungan publik terbanyak ke dalam pemilihan.

Di era demokrasi modern, indikasi tersebut biasanya berasal dari hasil survei. Jamak di negara-negara demokrasi bahwa kandidat yang dimunculkan oleh satu atau beberapa partai adalah kandidat yang memiliki data hasil survei tertinggi.

Bahkan di Amerika Serikat pun, di mana proses kandidasi dan seleksi kandidat dilakukan melalui konvensi internal partai, angka survei adalah salah satu faktor penentu ikut atau tidaknya seorang kandidat dalam konvensi partai.

Apalagi setelah hasil konvensi didapat. Partai dan tim sukses kandidat akan berjuang habis-habisan untuk mempertahankan agar angka raihan surveinya tidak menyusut.

Semua itu dilakukan bukan sekadar untuk memastikan sang kandidat bisa memenangkan pemilihan, tapi juga untuk memastikan bahwa kandidat yang diusung tetap mendasarkan pencalonannya atas dasar basis dukungan publik.

Terlepas seperti apa performa sang kandidat nantinya setelah terpilih dan terlepas cara apa yang dipakai oleh tim sukses sang kandidat untuk mempertahankan angka elektabilitasnya, yang jelas proses yang demikian sudah menuju ke tujuan yang benar, yakni mendapatkan dukungan publik sebanyak-banyaknya.

Menurut hemat saya, inilah proses yang semestinya juga ditempuh oleh partai-partai politik di Indonesia. Kandidasi seorang calon presiden utamanya harus didasarkan kepada dukungan publik terlebih dahulu, baru kemudian pembangunan jejaring dukungan dari kalangan elite.

Dengan kata lain, hasil survei yang berasal dari lembaga-lembaga survei independen dan kredibel semestinya menjadi referensi utama bagi partai-partai politik dalam membuat daftar kandidat potensial.

Logika politik di atas nampaknya berjalan baik di beberapa kubu politik, tapi terkesan mandek di kubu lainnya.

Boleh jadi memang gerakan Partai Nasdem dalam menggaet Anies Baswedan adalah langkah politik yang tidak disukai penguasa Istana.

Namun bagaimanapun, melihat raihan dukungan publik untuk Anies Baswedan dari survei-survei yang ada, langkah Ketua Umum DPP Partai Nasdem Surya Paloh layak diacungi jempol.

Surya Paloh nyatanya tidak mencalonkan sosok yang tanpa angka karena Anies Baswedan adalah satu dari tiga kandidat yang raihan suaranya terbanyak dalam survei-survei selama kurun waktu setahun terakhir.

Pun dengan konsistensi Partai Gerindra dalam mengusung Prabowo Subianto. Tidak bisa dipungkiri bahwa Prabowo Subianto masih mengantongi elektabilitas yang cukup kompetitif, meskipun dinilai oleh beberapa pihak bahwa elektabiltas tersebut agak sulit untuk berkembang.

Namun aktualisasi logika demokrasi tersebut agak mandek saat dihadapkan kepada PDIP beberapa waktu belakangan, partai dengan raihan suara terbanyak pada pemilihan 2019 lalu.

Konsistensi Ganjar Pranowo dalam raihan angka elektabilitas di setiap survei politik yang ada belum mampu mendorong PDIP untuk lebih berani memperlihatkan kejelasan sikap politiknya terkait calon presiden resmi yang akan diusung partai berlogo banteng moncong putih itu.

Selain itu, publik masih was-was apakah PDIP akan berani mengusung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden resmi partai atau tidak di saat sikap politik tersebut diumumkan nanti karena dilema klasik yang berlangsung di internal partai.

Dilema tersebut setali tiga uang dengan dilema yang disampaikan oleh Machiavelli di atas, yakni antara memilih calon pemimpin berdasarkan dukungan publik/massa atau berdasarkan kehendak jejaring elite yang ada.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa ada nama Puan Maharani yang membayangi pencalonan Ganjar Pranowo selama ini.

Jika dihadap-hadapkan angkanya, sangat jelas hasilnya bahwa Puan Maharani tidak muncul sebagai kandidat dengan angka elektabilitas tinggi yang mampu menyaingi raihan elektabilitas Ganjar Pranowo.

Tapi di sisi lain, juga sudah menjadi pengetahuan publik bahwa ada pihak-pihak kunci di dalam partai yang mendukung pencalonan Puan Maharani, yang kemudian berimbas kepada ketidakjelasan fungsi angka elektabilitas yang diraih Ganjar Pranowo bagi partai.

Walhasil, PDIP terjebak di dalam dilema dua pilihan sebagaimana yang disebutkan oleh Machiavelli di atas.

Kabar baik bagi proses demokrasi baru mulai muncul belakangan ketika dilema antara Puan Maharani dan Ganjar Pranowo mulai mereda. Saling serang antara pendukung kedua kubu tidak pernah terdengar lagi.

Jadi asumsi publik mulai mengerucut bahwa PDIP sudah sampai pada satu titik kesepakatan, tinggal menunggu waktu yang tepat untuk diumumkan. Titik tersebut, sangat besar kemungkinannya dan sangat diharapkan oleh publik, berada di pihak Ganjar Pranowo.

Jika memang akhirnya demikian, maka proses demokrasi sudah kembali ke jalur yang tepat. Mengusung calon yang benar-benar memiliki indikator dukungan publik tertinggi adalah pilihan yang tepat dan masuk akal untuk PDIP, untuk tetap mempertahankan status "ruling party" setelah 2024 nanti.

"Leadership without trust is a contradiction in terms", tulis Stephen Covey salah satu pakar tema Leadership dan penulis asal Amerika Serikat yang menulis buku laris, The Seven Habits of Highly Effective People.

Artinya jika dikaitkan dengan konteks kita hari ini, dukungan publik kepada calon pemimpin yang diindikasikan oleh perolehan angka elektabilitas dari hasil survei lembaga-lembaga survei terpercaya adalah bukti kepercayaan publik, yang akan sangat kontradiktif jika diabaikan begitu saja.

Dan PDIP akhirnya secara bijak memaknai hal tersebut, dengan tetap berdiri bersama publik, baik untuk kepentingan masa depan partai berupa potensi besar untuk memenangkan pemilihan maupun untuk kepentingan publik setelah calonnya terpilih nanti.

Tanpa kepercayaan publik, hanya bermodalkan persetujuan elite belaka, pencalonan seorang calon presiden ibarat kantong kosong yang bunyinya dinyaring-nyaringkan.

Risikonya, potensi kemenangan akan semakin menurun karena sedari awal tidak didasarkan kepada dukungan yang ideal yaitu dukungan publik. Semoga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com