Namun bagaimanapun, Rusia dan China memang bukanlah bagian dari negara-negara demokrasi.
Sejak tahun 2004-2005, Rusia sudah bukan lagi dikategorikan sebagai negara demokrasi ideal, terutama sejak Putin mulai memberangus media dan pengusaha-pengusaha yang kritis terhadap penguasa Rusia.
Di Filipina sempat dihantui sindrom pemimpin kuat setelah populisme Rodrigo Duterte mengejutkan dunia.
Namun institusi demokrasi di Filipina, terutama pengaruh kuat pihak militer yang masih sangat pro-Amerika Serikat, membuat Duterte kehilangan nyali untuk mendobrak tradisi pemilihan di sana.
Yang dilakukan Duterte kemudian mendukung dan berjuang memenangkan calon pengganti yang segaris dengannya. Dan itulah yang terjadi.
Duterte menjadikan putrinya Sara Duterte-Carpio sebagai wakil presiden di pemilihan mutakhir mendampingi presiden baru Ferdinand Marcos Jr atau Bongbong Marcos, yang juga masih di bawah bayang-bayang Duterte.
Memang terkesan kurang etis. Namun secara politik sangat bermakna strategis, karena Duterte yang sangat populis tidak berani membuka wacana tiga periode untuk dirinya.
Sebagai contoh yang baik, Indonesia sangat perlu merawat keistimewaan yang disandang dengan terus secara konsisten menjaga kinerja institusi-institusi demokrasi, termasuk dalam mencegah fanatisme berlebihan atau bahkan autokrasi dalam bernegara.
Untuk itu, Indonesia secara bangsa perlu menunjukkan komitmen dalam mematuhi ketetapan undang-undang tentang masa jabatan presiden dan jadwal pemilu, sembari memperjuangkan kemajuan ekonomi, kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial, semua itu tentunya di bawah komando Presiden Jokowi.
Oleh karena itu, semua pihak, termasuk Jokowi, yang saya yakin merupakan sosok negarawan prorakyat, harus dengan arif dan bijaksana kembali kepada ketentuan Pasal 7 UUD 1945 yang secara tegas berbunyi: ‘Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan’.
Artinya, masa jabatan presiden dan wakil presiden maksimal hanya diperbolehkan dua periode.
Sikap semacam ini diperlukan oleh semua pihak demi menjaga marwah dan nama baik Indonesia dalam konteks demokrasi dan ekonomi global.
Lebih dari itu, Jokowi secara pribadi tentu sangat menyadari bahwa keterpilihan beliau menjadi presiden bukan saja karena dukungan kelompok-kelompok pengusaha dan elite politik saja, namun juga ada peran signifikan dari konstituen dan para sahabat kelompok intelektual.
Para intelektual ini sangat jelas kerjanya, terutama ketika negara menghadapi krisis dan presiden mendapat tekanan politik, mereka tetap solid dalam barisan yang sangat rapat mendukung Jokowi.
Jangan sampai hanya karena wacana tiga periode yang terus berlarut membuat kelompok ini menjadi gerah dan perlahan menarik diri dari kerja-kerja kenegaraan bersama Jokowi.
Menurut hemat saya, jalan terbaik bagi Jokowi, jika memang ingin terus bergerak aktif dalam menjaga legacy-legacy pemerintahannya, adalah dengan mengambil langkah politik seperti yang dilakukan Duterte.
Meskipun terkesan intervensionis atas dinamika politik yang ada, toh tidak ada salahnya Jokowi ikut memuluskan jalan salah satu pasangan kandidat yang akan berlaga di tahun 2024, memberikan kontribusi politik nyata dalam berbagai bentuk yang sah kepada pasangan tersebut, termasuk mendorong faksi politik potensial tertentu untuk mendukung mereka, dan mengantongi komitmen dari mereka untuk meneruskan apa yang telah dilakukan Jokowi selama masa pemerintahannya.
Langkah ini akan jauh lebih baik bagi Jokowi dan para penggerak isu tiga periode. Semoga.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.