Perdana Menteri India saat ini, yang terus menari-nari di atas fanatisme Hindu dan diskriminasi sistematis atas masyarakat Muslim India.
Sementara negara-negara Asia Tenggara lainnya, selain Filipina, masih betah dengan gaya "demokrasi berbalut autokrasi" ala Singapura atau Malaysia.
Tahun 2013 lalu, Joshua Kurlantzick menerbitkan buku "Democracy in Retreat. The Revolt of the Middle Class and Worldwide Decline of Representative Government", yang menyoroti rontoknya tatanan demokrasi di beberapa negara berkembang, salah satunya Thailand akibat ulah populisme Thaksin Sinawatra and the gang, yang berujung kudeta.
Ketika itu, Joshua masih menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara percontohan yang masih menjaga denyut demokrasi.
Tahun 2015, Larry Diamond dan Marc F. Plattner mengeditori buku berjudul "Democracy in Decline" yang menghimpun karya-karya ilmiah yang mereka kelola, yakni "Journal of Democracy," tentang kemunduran demokrasi di berbagai negara di seluruh dunia.
Kemudian tahun 2016, Joshua kembali menerbitkan buku berjudul "State Capitalism. How the Return of Statism is Transforming the World."
Dalam buku tersebut, Joshua memasukan Indonesia ke dalam barisan sistem ekonomi "State Capitalism," tapi masih bercorak demokratis, yakni democratic state capitalism, setara dengan Brasil.
Menurut dia, state capitalism adalah salah satu bentuk alternatif sistem ekonomi yang lahir dari kemunduran gerakan demokrasi global. Namun sistem ekonomi seperti ini, jika tak hati-hati, tidak jauh jaraknya dari autokrasi.
Dengan besarnya peran negara dalam mengelola perekonomian dan mengintervensi industri-industri strategis, otot kekuasaan negara membesar di satu sisi dan melemahkan kelompok oposisi dan aktivis demokrasi di sisi lain.
Walhasil, hanya butuh satu langkah lagi demokrasi untuk ditaklukkan, tentunya jika pemimpinya tidak peduli dengan masa depan demokrasi.
Tahun 2019 lalu, Pippa Norris dan Ronald Inglehart dari Harvard juga menerbitkan buku berjudul "Cultural Backlash: Trump, Brexit, and Authoritarian Populism" yang membahas tentang menguatnya gerakan ekstrem kanan dan kiri di banyak negara, akibat memburuknya kinerja ekonomi ala kapitalisme yang memuncak pada krisis finansial tahun 2008 lalu.
Karena perkembangan tersebut, tahun 2022, Gideon Rachman, menyimpulkan bahwa hari ini, spirit "Strongman" sudah menjadi jiwa zaman.
Pemimpin-pemimpin berwatak autokrat mengakali institusi-institusi demokrasi untuk melanggengkan kekuasaan dan menekan kelompok oposisi. Ia memberi judul bukunya "The Age of the Strongman."
Buku Gideon adalah penguatan atas buku yang diterbitkan oleh Eric A. Posner, yang terbit tahun 2020 lalu dengan judul "The Demagogue's Playbook. "
Munculnya sindrom pemimpin kuat tentu tidak lepas dari ulah Vladimir Putin di Rusia dan Xi Jinping di China yang memperpanjang masa jabatan presiden (Putin) dan menambah masa jabatan presiden (Xi Jinping) di negaranya masing-masing.