Pada tahun-tahun sebelumnya kooptasi pemberitaan media oleh pemilik media sudah cukup menonjol. Kooptasi ini secara prinsip membuat publik tidak mendapatkan informasi yang obyektif dari media terutama tentang kepentingan bisnis atau kepentingan politik dari pemilik media.
Hal ini akan semakin kentara selama tahun politik 2023 dan 2024, dimana beberapa media sudah mulai mengambil posisi mendukung pemilik media dan juga partai politik yang dipimpinnya dalam pertarungan Pemilihan Presiden dan Pemilu Legislatif 2024 .
Pola ini mengulang situasi kooptasi pemberitaan oleh pemilik modal saat tahun politik, setidaknya sepuluh tahun lalu.
Pada tahun 2014, berdasarkan pantauan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Metro TV memberikan porsi dan durasi tayangan yang lebih besar kepada calon presiden Joko Widodo.
Sedangkan TV One dan Grup MNC TV (RCTI, MNC TV, Global TV) memberi porsi dan durasi tayangan lebih besar kepada capres Prabowo Subianto.
KPI kemudian memberikan teguran kepada 5 stasiun TV atas keberpihakan masing-masing stasiun TV kepada kandidat tertentu.
Saat itu, pemilik Metro TV, Surya Paloh yang juga Ketua Umum Partai Nasdem, adalah salah satu pengusung capres Joko Widodo.
Sedangkan pemilik TV One Aburizal Bakrie - Partai Golkar - serta pemilik RCTI, MNC TV, dan Global TV Hary Tanoesoedibjo adalah pendukung Prabowo.
Kooptasi seperti ini memberikan dampak psikologis yang berat kepada wartawan dalam menjalankan tugasnya sebagai penjaga demokrasi, mengingat situasinya tidak ideal dan tidak mudah untuk diatasi.
Saat ini, dengan situasi yang belum berubah, pada akhirnya publik harus lebih kritis untuk selalu melakukan pengecekan ulang dengan media massa lain agar bisa mendapatkan pemberitaan yang lebih utuh terutama tentang berita politik yang menjadi kepentingan pemilik media.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) merilis bahwa sepanjang tahun 2022, ada 61 kasus kekerasan menyerang 97 wartawan, pekerja media dan 14 organisasi media. Jumlah kekerasan terhadap wartawan ini naik dari 43 kasus tahun 2021.
Jenis serangannya beragam dari kekerasan fisik, digital, penyensoran, pelaporan pidana dan kekerasan seksual.
Pelaku kekerasan yang telah teridentifikasi di antaranya datang dari polisi, pemerintah, TNI, ormas, partai politik, perusahaan dan warga.
Pada awal tahun ini, menurut Dewan Pers, juga ada dua kasus kekerasan terhadap wartawan. Melihat perkembangan jumlah kekerasan terhadap wartawan, perlindungan atas wartawan sudah semestinya menjadi perhatian serius dari negara, masyarakat, dan perusahaan pers.
Kemudian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan akhir 2022, walaupun baru akan berlaku tiga tahun kemudian, bersama dengan UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) tahun 2022 juga menuai kritik karena belasan pasal dinilai menghambat tugas dan mengkriminalisasi wartawan.