Dengan lain perkataan, bahkan hak yang seharusnya didapatkan pekerja, walaupun terlambat dituntut, justru tidak digubris dengan serius oleh perusahaan alias perusahaan gagal meyakinkan para pekerja bahwa perusahaan memang memiliki komitmen untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Walhasil, tuntutan berubah menjadi gerakan, yang kemudian "out of control" dan "chaos" alias menjadi rusuh.
Hal tersebut diperparah dengan keberadaan tenaga kerja asing (TKA) di perusahaan yang sama, yang dikabarkan tidak satu barisan dengan kelompok pekerja dari dalam negeri dalam menyuarakan aspirasinya.
Bahkan dari berbagai pemberitaan dikabarkan bahwa TKA berada satu barisan dengan manajemen perusahaan.
Konfigurasi relasi konflik menjadi semakin lebar karena ketegangan tidak saja terjadi antara pekerja dan pihak manajemen perusahaan, tapi di tataran teknis juga antara pekerja lokal dan tenaga kerja asing yang ada di PT. GNI.
Keberadaan dan eksistensi TKA ini sangat perlu menjadi perhatian khusus pemerintah pusat, karena besarnya porsi TKA di kawasan industri, yang secara statistik sulit didapatkan data pastinya, berpotensi menjadi sumber bencana sosial baru di Sulawesi maupun wilayah lain di Indonesia.
Kedua, secara fundamental, potensi konflik semacam itu tersimpan hampir di semua perusahaan penambang nikel yang memperkerjakan TKA di Morowali khususnya dan Sulawesi pada umumnya.
Keputusan strategis pemerintah untuk mengakselerasi komersialisasi komoditas nikel di Sulawesi terlalu mengutamakan motif ekonomi, sehingga hal-hal teknis tapi krusial di lapangan cenderung terabaikan.
Relasi tenaga kerja lokal dan TKA, relasi bisnis dan masyarakat setempat, relasi bisnis dan lingkungan, dan relasi bisnis dan pemerintah, semuanya terkesan abu-abu, karena pemerintah lebih memrioritaskan komersialisasi komoditas nikel dengan mendorong akselerasi investasi pertambangan dan pengolahan nikel di kawasan Sulawesi untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasional yang sudah mulai terlihat stagnan sejak awal masa pemerintahan Jokowi.
Soal relasi yang kurang sinkron antara tenaga kerja lokal dan TKA, misalnya. Selama ini tidak jelas aturan main soal TKA di Morowali. Pemerintah berargumen bahwa aturan ketenagakerjaan di Morowali juga mengacu kepada UU Tenaga Kerja Nasional.
Namun di lapangan, perusahaan-perusahaan tambang nikel justru menggunakan model kontrak subkontraktor kepada perusahaan lain, yang umumnya berasal dari China, untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan tertentu.
Tidak heran kemudian pekerjaan-pekerjaan kasar sekalipun di dalam kawasan perusahaan dikerjakan oleh TKA.
Jadi sangat tidak aneh saat saya membaca berita bahwa ternyata lebih dari 1000 TKA di PT. GNI (dari pemberitaan jumlahnya 1600).
Jumlah tersebut tentu sangat berpotensi dijadikan pagar betis oleh perusahaan untuk melakukan "pukulan balik" kepada gerakan pekerja di satu sisi dan menjadikan TKA sebagai pagar betis kepentingan perusahaan di sisi lain.
Memang, ada "deal" soal TKA yang tidak bisa dielakkan oleh pemerintah. Konsesi soal TKA, terutama dengan China, harus diberikan karena pemerintah sangat membutuhkan investasi baru dari China untuk menambang dan mengolah komoditas nikel di sana dan sekaligus untuk mengembangkan kawasan industri yang berkelas dunia.