Menurut Mahfud MD, MK tidak pernah membatalkan isi dari UU Cipta Kerja. Hanya menyatakan agar prosedur pembentukan UU Ciptaker harus diulang di mana harus ada ketentuan omnibus law sebagai bagian dari proses registrasi.
Selanjutnya, Mahfud mengemukakan alasan pemerintah memperbaiki UU Cipta Kerja melalui penerbitan Perpu oleh karena Perpu sama derajatnya dengan UU. Lahirnya Perpu dengan alasan adanya kegentingan memaksa merupakan hak subyektif presiden yang tidak perlu diperdebatkan (Kompas.com, 4/1/2023).
Dalam hemat penulis, merujuk pada pertimbangan dan/atau amar Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, terbitnya Perpu Cipta Kerja tidak sepenuhnya sejalan dengan Putusan MK tersebut.
Ini berarti, pada satu sisi, terbitnya Perpu harus diakui sebagai hal yang bisa diterima. Namun di sisi lain, alasan Presiden Jokowi menerbitkan Perpu Cipta Kerja bermasalah secara hukum khususnya putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020.
Majelis Hakim dalam putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, halaman 412, menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat karena tiga alasan.
Pertama, tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang.
Kedua, terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pascapersetujuan bersama DPR dan presiden.
Ketiga, bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan terutama asas asas kejelasan tujuan dan asas kejelasan rumusan maupun asas keterbukaan.
Alasan pertama sudah dijawab pembentuk undang-undang dengan memasukkan metode omnibus law melalui UU No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Alasan kedua, pembentuk undang-undang menjawabnya dengan koreksi penulisan maupun penambahan yang lebih detail pada substansi Perpu Cipta Kerja.
Hal ini misalnya, jika membaca pengaturan sertifikasi halal atau administrasi pemerintahan dalam Perpu Cipta Kerja, ada pengaturan yang lebih rinci dari sebelumnya dalam UU Cipta Kerja.
Dari sisi kedua alasan di atas, maka sinyalemen Mahfud MD sebagai “juru bicara hukum” pemerintah yang meyakinkan kepada kita bahwa terbitnya Perpu sebagai tidak menabrak putusan MK, hemat penulis dapatlah diterima.
Adapun alasan ketiga, menurut Mahkamah, inkonstitusional bersyarat dari UU Cipta Kerja karena tidak sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini karena, pertama, tidak terpenuhinya asas kejelasan tujuan dan asas kejelasan rumusan, yaitu dengan telah adanya kesalahan pengutipan dalam merujuk pasal dalam UU Cipta Kerja.
Kedua, tidak terpenuhinya asas keterbukaan. UU Cipta Kerja dinilai oleh Mahkamah tidak dibahas secara terbuka.
Menurut Mahkamah, meskipun telah dilaksanakan berbagai pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat, namun belum membahas naskah akademik dan materi perubahan yang mengakibatkan masyarakat tidak mengetahui secara pasti materi perubahannya.
Asas kejelasan tujuan dan asas kejelasan rumusan sudah dipenuhi pembentuk undang-undang dengan melakukan koreksi pada rumusan Perpu Cipta Kerja. Dalam konteks ini, menurut penulis, terbitnya Perpu Cipta Kerja dapat dimaklumi.
Masalah utama Perpu Cipta Kerja, dalam catatan penulis, terletak pada tidak terpenuhinya asas keterbukaan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah in casu presiden sebelum menerbitkannya.
Padahal, MK telah memberikan waktu paling lama selama 2 tahun untuk memperbaiki prosedurnya agar ada keterbukaan yang membuka ruang bagi adanya partisipasi masyarakat dalam proses pembentukannya.
Sejak kurun adanya putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 bertanggal 25 November 2021 hingga diterbitkannya Perpu Cipta Kerja pada 30 Desember 2022, sebagaimana kita ketahui tidak cukup banyak sosialisasi atau diskusi publik terkait akan diterbitnya Perpu Cipta Kerja. Ini masalah dari sisi partisipasi masyarakat.