JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan, pengakuan negara terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat didasarkan dari pertimbangan yang oleh orang-orang kredibel yang tergabung dalam Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM).
Hal tersebut menurut Yasonna menguatkan komitmen pemerintah dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.
"Ini kan yang membuat keputusan ini kan orang-orang yang sangat kredibel. Jadi, saya kira kita yang pasti pemerintah sangat berkeinginan menyelesaikan itu (pelanggaran HAM berat)," ujar Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (12/1/2023).
Yasonna mengatakan, dalam konteks pelanggaran HAM berat ada hal-hal yang tidak bisa dilanjutkan secara pro justitia (demi hukum).
Baca juga: Soal Penyelesaian Yudisial Pelanggaran HAM Berat, Menkumham: Tergantung Bukti-bukti
Namun, menurutnya, bukan berarti pemerintah tidak ingin menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang telah terjadi di masa lalu.
Hanya saja, saat ini pemerintah melakukan upaya nonyudisial terlebih dulu.
Yasonna mengatakan, penyelesaian secara yudisial terhadap pelanggaran HAM berat tergantung dari bukti-bukti yang ada.
"Ya itu kan nanti apa, tergantung data bukti-bukti yang ada," katanya.
Baca juga: 3 Poin Pernyataan Jokowi soal Pelanggaran HAM Berat
Sebelumnya, Presiden Jokowi berjanji pemulihan hak korban pelanggaran HAM berat kan dilakukan secara adil dan tidak mengabaikan penyelesaian yudisial.
"Saya dan pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial (hukum)," kata Jokowi di Istana Negara pada Rabu (11/1/2023).
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menegaskan bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu secara yudisial tetap dilakukan.
Ia mengatakan, selesainya tugas Tim PPHAM tidak meniadakan proses yudisial terhadap pelanggaran HAM berat di masa lalu.
"Tim ini tidak meniadakan proses yudisial," kata Mahfud saat menyerahkan laporan Tim PPHAM ke Presiden Jokowi di Istana Negara, Rabu.
Baca juga: Jokowi Akui 12 Peristiwa HAM Berat, Amnesty International: Pengakuan Belaka Menambah Luka Korban
Mahfud juga menyampaikan, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM telah mengatur bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000 diselesaikan lewat pengadilan HAM ad hoc atas persetujuan DPR.
Sementara itu, pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah tahun 2000 akan diadili melalui pengadilan HAM biasa.