Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ghunarsa Sujatnika
Dosen

Dosen Hukum Tata Negara FHUI / Peneliti Pusat Studi HTN FHUI

Perppu Cipta Kerja: Kado Akhir Tahun yang Tak Diinginkan

Kompas.com - 06/01/2023, 07:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pertama, adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa. Kedua, perppu bersifat sementara hingga DPR memberikan persetujuan terhadap perppu tersebut.

Jika DPR setuju, maka perppu tersebut akan ditetapkan menjadi undang-undang. Namun, apabila DPR tidak setuju, maka perppu tersebut harus dicabut.

Memaknai kegentingan memaksa

Perdebatan selanjutnya adalah memaknai hal ihwal kegentingan yang memaksa. Dalam pertimbangan Perppu Cipta Kerja, setidaknya ada tujuh kondisi yang dianggap memenuhi parameter kegentingan memaksa oleh presiden.

Pertama, pemenuhan hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Kedua, penyerapan tenaga kerja dan adanya tantangan dan krisis ekonomi global yang dapat mengganggu perekonomian nasional.

Ketiga, perlunya penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan cipta kerja.

Keempat, kebutuhan hukum untuk percepatan cipta kerja. Kelima, perlunya terobosan dan kepastian hukum untuk dapat menyelesaikan sejumlah permasalahan dalam beberapa undang-undang ke dalam satu undang-undang dengan metode omnibus.

Keenam, pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU Cipta Kerja sebelumnya. Ketujuh, respons terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan kenaikan inflasi yang akan berdampak signifikan terhadap perekonomian nasional.

Ketujuh hal inilah yang kemudian direspons oleh pemerintah dengan mengeluarkan Perppu Cipta Kerja.

Pertanyaannya, apakah parameter tersebut tepat dikatakan sebagai kegentingan memaksa?

Dalam aturan di Indonesia, tidak ada aturan yang jelas terkait parameter kegentingan memaksa tersebut. Kondisi kegentingan memaksa pada akhirnya merupakan subyektif presiden.

Namun, MK dalam Putusan No.138/PUU-VII/2009 telah memberikan panduan bagi presiden terkait parameter kegentingan yang memaksa.

Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU.

Kedua, adanya kekosongan hukum karena belum ada UU yang mengatur, atau UU yang tersedia tidak memadai.

Ketiga, pembuatan UU dengan prosedur biasa memerlukan waktu yang lama sedangkan keadaan yang mendesak perlu kepastian untuk diselesaikan dalam mengatasi kekosongan hukum tersebut.

Meski MK sudah memberikan panduan, namun penerbitan perppu ini masih berpotensi menimbulkan masalah.

Menurut Fitra Arsil (2018), ada tiga potensi masalah, yakni: (i) makna kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum; (ii) perlunya penilaian yang cukup mengenai makna kekosongan hukum; dan (iii) penjelasan presiden tentang proses legislasi biasa dianggap tidak bisa dilakukan karena alasan waktu.

Ketiga potensi ini setidaknya harus dapat dijelaskan dengan tegas oleh presiden dihadapan DPR.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com