TAHUN Macan air 2022 sebentar lagi akan berlalu. Begitu pula dengan ancaman pandemi Covid-19. Tahun ini menjadi tahun paling longgar di antara tiga tahun masa pandemi.
Dari akhir tahun 2021 hingga awal tahun 2022, pergerakan sosial mulai semakin longgar. Perayaan hari besar keagamaan, mulai dari Lebaran sampai Natal, mulai dilakukan seperti sedia kala sebagaimana di situasi normal.
Masyarakat yang sudah dua tahun diminta menahan diri untuk tidak mudik, pada tahun ini bisa menjalankannya kembali.
Rantau dan kampung mulai kembali dipersatukan oleh tradisi silahturahmi tahunan tersebut, meski dengan banyak syarat dan catatan.
Standar prosedural pandemi masih tetap diberlakukan, meski dalam skala paling minimal, seperti tetap memakai masker dan menjaga jarak aman antarsesama masyarakat.
Karena itu pula, kegiatan ekonomi mulai bergeliat kembali seperti masa sebelum pandemi. Kantor dan perusahaan sudah menerapkan kembali cara kerja normal dengan keharusan hadir secara fisik.
Walhasil, transportasi publik mulai kembali beroperasi dalam skala maksimal untuk mengimbangi pergerakan para pekerja.
Di sektor pendidikan, kelas-kelas online yang memanfaatkan internet dan media digital mulai berkurang. Karena pendidikan memang idealnya dilakukan secara tatap muka.
Pun aktifitas kewisudaan sudah dilakukan secara normal. Kegembiraan kelulusan kembali membuncah yang dirayakan secara kolektif oleh para alumnus baru.
Dari sisi ekonomi, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi nasional mulai kembali ke angka 5 (lima) persen tahun 2022 ini, setelah pembalikan arah secara masif akhir tahun lalu.
Investasi baru mulai bergeliat positif lagi. Artinya, daya serap tenaga kerja baru mulai terjadi, untuk mengurangi tekanan pengangguran yang sempat melonjak dua tahun sebelumnya.
Melihat perkembangan tersebut, secara fiskal pemerintah merasa sudah saatnya untuk memperkenalkan objek pajak baru, yakni pajak karbon.
Pada awal tahun 2022, pemerintah dan parlemen akhirnya berhasil meratifikasi Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), setelah melewati proses deliberasi dan diskursus yang intensif.
UU tersebut digadang-gadang oleh pemerintah, terutama Kementerian Keuangan, sebagai tonggak sejarah baru. Bahkan sebuah terobosan luar biasa di tengah krisis, karena mulai memperkenalkan pajak karbon, walaupun akhirnya belum bisa diterapkan dalam waktu cepat.
Namun persoalannya, penetapan pajak karbon adalah bagian dari upaya mencari tambahan pendapatan baru, alias bukan untuk mengendalikan emisi karbon secara serius.
Apalagi jika angkanya hanya Rp 30 per kg, alias Rp 30.000 per ton, yang jauh dibanding 100-150 dollar AS per ton di negara Eropa, misalnya.
Jika pemerintah memang serius mengendalikan emisi karbon, maka pilihan yang tepat adalah skema "cap and trade", bukan carbon tax.
Dengan skema cap and trade, pemerintah justru harus menentukan batas emisi karbon yang harus dipatuhi oleh perusahaan.
Dan jika perusahaan mampu menghasilkan karbon jauh di bawah batas sertifikat yang mereka pegang, mereka bisa menjual kuota tersisa dari sertifikat tersebut kepada perusahaan yang menghasilkan kelebihan produksi karbon.
Mudah-mudahan dalam waktu-waktu mendatang, niat untuk memperbaiki mekanisme karbon ini bisa dilakukan.
Sementara itu, di tingkat global muncul kendala geopolitik baru yang cukup mengganggu laju perekonomian nasional.
Rusia secara mengejutkan memutuskan untuk menginvasi Ukraina, yang menyebabkan turbulensi pada harga-harga komoditas dunia.
Kenaikan harga minyak dunia akibat peperangan kedua negara menyebabkan harga minyak dunia membubung tinggi.
Selain membuat beban subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak) dalam negeri membengkak, harga komoditas lain juga terbawa naik. Harga komoditas salah satu jenis minyak nabati, yaitu CPO (Crude Palm Oil) dunia melambung tinggi.
Risikonya, lonjakan harga minyak goreng dalam negeri ikut menambah beban ekonomi baru bagi masyarakat.
Pemerintah akhirnya memberlakukan larangan ekspor CPO selama sebulan, yang tidak serta merta menurunkan harga jual minyak goreng nasional.
Di lapangan, masalahnya ternyata tidak hanya soal harga komoditas global CPO yang naik, tapi juga permainan oligarki pengusaha sawit dan CPO yang memonopoli produksi serta jalur suplai CPO.