Saya kira di sini drama ironis Matius mencapai puncaknya: bukan orang-orang yang, konon, adalah "bangsa pilihan", yang diberi kabar malaikat, tetapi justru orang asing!
Dan persis itulah warta Injil yang "subversif" yang mengganggu ke(ny)amanan hidup kita. Sebab Natal memang, sebenarnya, warta yang bersifat "subversif".
Warta itu menjungkirbalikkan segala tatanan yang selama ini dipegang dan diyakini begitu saja.
Bayangkan saja: Allah Yang Maha Tinggi justru memilih untuk menjadi bayi tak berdaya, dan bukan tatanan kekuasaan yang ada.
Lagi pula, Allah juga memilih untuk mewartakan kabar penebusan-Nya pada orang-orang lemah, seperti para gembala (dalam kisah Lukas), atau orang Majus yang asing (dalam kisah Matius).
Pada Matius, warta "subversif" itu makin digarisbawahi karena kita melihat kontrasnya dengan sikap Herodes, si penguasa yang ketakutan dan ingin mempertahankan kekuasaannya dengan segala cara.
Kita tahu, nantinya Herodes bahkan tega membunuh semua anak-anak tak berdosa di Betlehem, setelah para Majus memilih jalan yang lain (lih. Mat 2:16-18).
Di sini, saya kira, kita bertemu dengan paradoks dasar iman kristiani: perombakan tatanan justru dimulai dari "tepian kehidupan", seperti pernah ditegaskan Paus Fransiskus, yakni dari mereka yang lemah, tak berdaya, disingkirkan, atau bahkan oleh "orang asing".
Pada tepian kehidupan yang sering diremehkan itulah Allah bekerja untuk memperbarui kehidupan.
Nantinya paradoks tadi mencapai puncaknya di Golgota saat Yesus disalibkan. Pada satu sisi, Golgota melambangkan Yesus sebagai "Mesias yang gagal" (failed Messiah).
Tetapi kita tahu, pada sisi lainnya, justru kegagalan itu merupakan cara yang dipilih Allah untuk melaksanakan rencana penebusan-Nya.
Sayang sekali, warta "subversif" Injil itu kerap dilupakan saat kita merayakan Natal. Lebih sering Natal dilihat sekadar sebagai perayaan "ulang tahun" Yesus, sekaligus kesempatan hura-hura belanja akhir tahun.
Dan kisah para Majus menjadi dongeng pengantar tidur, atau spekulasi ilmiah tentang "bintang Betlehem".
Karena itu, saya menyambut gembira undangan PGI dan KWI agar kita merenungkan ulang "jalan lain" dalam merayakan Natal tahun ini.
Renungan itu penting, karena di tahun mendatang kita akan memasuki "tahun politik" di mana kekuasaan diperebutkan habis-habisan.
Persoalannya, dapatkah kita sadar lalu mengambil "jalan lain" dalam memaknai kekuasaan itu?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.