Kembali pada kalimat pembuka tulisan ini, pekerja perempuan sering berada dalam situasi ketika mereka tidak memiliki pilihan lain selain bekerja dalam kondisi seburuk apapun untuk tetap bertahan hidup.
Faktor ekonomi merupakan faktor fundamental yang dijadikan alasan oleh mereka tetap bekerja dalam kondisi tidak manusiawi.
Bagi kapitalis, kemiskinan merupakan hal pantas didapat bagi pihak yang tidak mau berusaha dan kalah dalam bersaing.
Mereka berpandangan bahwa sudah menjadi kodrat mereka untuk terlahir kaya dan kodrat mereka ditentukan oleh jerih payah mereka sendiri. Namun, anggapan ini masih sangat memungkinkan untuk diperdebatkan.
Lagi-lagi aspek struktural menjadi faktor krusial terhadap kemiskinan dalam suatu negara. Ini berhubungan dengan distribusi ekonomi yang tidak merata dan keterbatasan akses terhadap pendidikan. Keduanya saling memengaruhi satu sama lain.
Untuk dapat bersaing dan memperoleh pekerjaan dengan kualitas tinggi, latar belakang pendidikan di Indonesia menjadi salah satu parameter menentukan apakah seseorang layak bekerja pada posisi tertentu dan dibayar dengan nominal tertentu.
Sedangkan, untuk memperoleh pendidikan tinggi, dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Padahal, tidak semua masyarakat kurang mampu memperoleh beasiswa atau bantuan, dan beasiswa atau bantuan tersebut belum tentu mampu menutupi seluruh ongkos yang dibutuhkan untuk mengenyam pendidikan tinggi.
Ini merupakan situasi yang sulit dan dilematis bagi masyarakat menengah ke bawah. Untuk makan saja susah, apalagi untuk biaya pendidikan.
Belum persoalan lain seperti biaya listrik, air, sewa kontrakan, dan terutama biaya kesehatan, karena ada yang mengatakan bahwa “sehat itu mahal harganya”, sehingga, mereka dilarang sakit.
Kondisi ini berusaha mengungkapkan bahwa untuk menghilangkan kekerasan dan menciptakan perdamaian adalah dengan mengatasi kesenjangan ekonomi.
Situasi ini juga berhubungan keterbatasan terhadap akses pekerjaan yang layak. Perbandingan lapangan pekerjaan dengan jumlah angkatan kerja menjadi persoalan lain yang kemudian menyebabkan banyak pekerja perempuan bekerja di sektor rentan, seperti bekerja sebagai di sektor informal.
Dianggap sebagai sektor rentan dikarenakan sektor tersebut sering lepas dari pengawasan pemerintah.
Permasalahan struktural mengenai pekerja perempuan dapat dilihat dari belum diratifikasinya Konvensi International Labour Organization (ILO) No. 190 tentang kekerasan dan pelecehan di dunia kerja atau Konvensi ILO No.189 tentang pekerja rumah tangga oleh pemerintah dan justru lebih memilih mengesahkan Omnibus Law.
Padahal, berbagai macam kasus kekerasan terhadap pekerja perempuan terjadi di sektor informal.
Misalnya, menurut Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) terdapat 1.458 kasus kekerasan terhadap PRT dalam berbagai bentuk dalam kurun waktu 2018 hingga April 2020 (Purnamasari, 2020).